Rencana kontroversi ini dimulai ketika Gereja Katolik menyatakan akan berkonsultasi dengan konstituen gereja-gereja untuk membuat aturan pelarangan siswi Muslim mengenakan jilbab dalam sekolah umum dan swasta yang disponsorinya.
Gereja Katolik di Kenya mensponsori berbagai lembaga-lembaga publik dan swasta, terutama di pedesaan yang tidak banyak kalangan yang dapat dengan mudah mengakses layanan tersebut.
Perlawanan Kaum Muslim
Para pemimpin Muslim berupaya melakukan aksi untuk memaksa Gereja mencabut rencana pelarangan jilbab tersebut. "Ini merupakan masalah yang sangat serius yang tentu akan memicu bentrokan antara Muslim dan Kristen Kenya," kata Syekh Sharif Katamy, seorang pejabat di Supreme Council of Kenya Muslim (SUPKEM), kepada IOL, Selasa (3/11).
Kaum Muslim mengancam akan memboikot segala macam bentuk bisnis yang sepenuhnya dioperasikan oleh Gereja. "Kami berpikir tentang bagaimana melumpuhkan kegiatan Gereja termasuk memboikot institusi yang sepenuhnya dioperasikan oleh Gereja," kata Syekh Katamy.
"Kami berpikir untuk menghentikan segala urusan kami dengan Gereja. Kami juga mengajak seluruh umat Islam Kenya untuk menghentikan segala macam bentuk transaksi bisnis dengan Gereja," tegasnya.
Katamy juga mendesak para wali siswa Muslim agar mengeluarkan anak-anaknya dari lembaga-lembaga Gereja. "Kami mendesak agar siswa maupun mahasiswa Muslim untuk tidak belajar di sekolah-sekolah yang dimiliki oleh Gereja."
Menurut mereka, boikot merupakan alat yang dapat mereka andalkan untuk menentang sikap Gereja yang mereka anggap sebagai penistaan terhadap agama, etika modern, dan juga terhadap kebebasan beribadah di Kenya.
Jumlah penduduk Muslim di Kenya telah mencapai sekitar 30 persen dari total populasi Kenya, 36 juta. Sementara di Provinsi Timur Laut, jumlah Muslim mencapai 98 persen.
Syekh Mohamed Dor, seorang anggota parlemen yang juga cendekiawan Muslim, mengatakan, para pemimpin Islam akan segera bertemu untuk mengeluarkan fatwa mengenai rencana Gereja tersebut.
"Gereja telah mendorong kami ke dinding, kami akan mengeluarkan fatwa tentang ini," katanya. "Muslim semestinya tidak dihadapkan lagi dengan persoalan seperti ini."
Sementara itu, para wali siswa Muslim mengancam akan mengambil tindakan keras terhadap Gereja Katolik atas rencananya melarang penggunaan jilbab di lembaga-lembaga yang mereka sponsori.
"Agama bukanlah sesuatu yang bisa dianggap enteng," kata Mustafa Salim, seorang wali siswa Muslim di kota pelabuhan Mombasa.
"Gereja Katolik telah mengambil langkah yang dapat mengganggu jalanya pendidikan anak-anak Muslim kami dan bahkan dapat memicu timbulnya masalah yang lebih besar," imbuhnya.
Salim lebih mempertimbangkan pentingnya agama dan pendidikan bagi anak perempuannya yang berusia 10 tahun, Sahra. Ia sudah sangat siap jika putrinya harus keluar dari sekolah yang disponsori Gereja.
"Saya yakin ini adalah masalah yang sensitif, tapi kalau gereja meneruskan rencana yang telah mempersulit posisi orangtua Muslim, kami mengatakan bahwa kami memiliki aturan sendiri, yaitu Islam dan kami dapat memindahkan anak-anak kami ke tempat lain yang lebih untuk pendidikan dana gama," tegas Salim.
"Kami akan berdiri membela agama kita jika jilbab dilarang. Kami tidak akan berpikir dua kali tentang itu," imbuhnya.
Pemerintah berusaha menengahi pertikaian yang makin memanas tersebut dan meminta pihak pimpinan Gereja agar membatalkan recana mereka dan mebiarkan siswi Muslim untuk terus memakai jilbab di sekolah. Namun pihak gereja justru menuntut pemerintah untuk menarik permintaan tersebut dan menunggu hasil konsultasi dan dialog lebih lanjut antara gereja dan Negara. [ republika.co.id ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar