Menteri Luar Negeri Italia Franco Frattini mengatakan, "Ini merupakan embusan angin kematian bagi nilai-nilai dan hak-hak Eropa. Akar Eropa terletak pada identitas Kristen. Ketika kita mencoba untuk membawa agama semakin dekat, agama Kristen mendapat tentangan. Pemerintah akan mengajukan banding."
Putusan Pengadilan HAM Eropa itu berawal dari pengaduan seorang perempuan Finlandia, Soile Lautsi, yang menikah dengan pria Italia. Keduanya ateis.
Dia mengajukan protes bahwa anak-anaknya harus memasuki sebuah sekolah di Italia utara yang memajang salib di setiap ruang kelas. Keberadaan salib dalam ruangan kelas itu berdasarkan udang-undang Italia yang merefleksikan akar Katolik Roma dari negeri itu.
Putusan Pengadilan Eropa, yang akan diterapkan tiga bulan (setelah penetapan) itu, menyatakan, salib dapat mengganggu anak-anak yang bukan Kristen. Putusan tersebut akan memaksa peninjauan luas atas simbol-simbol agama di sekolah-sekolah pemerintah di seluruh Eropa.
Pengadilan menolak argumen pemerintah Italia yang menyatakan bahwa salib merupakan simbol budaya nasional, sejarah dan identitas, serta toleransi dan sekularisme. Pengadilan itu juga memerintahkan Italia untuk membayar ganti rugi kerusakan moral bagi Lautsi sebesar 5.000 euro.
Keputusan tersebut menyatakan, keberadaan sebuah salib di dalam ruangan kelas merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak orangtua untuk mendidik anak-anak mereka sesuai dengan khendak mereka dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama bagi murid-murid.
Pemerintah Italia sebelumnya sedang bingung memikirkan bagaimana menghadapi populasi imigran yang terus bertumbuh, terutama kaum Muslim. Putusan pengadilan itu tampaknya menjadi masalah lain lagi bagi pemerintah sayap kanan tengah dalam membatasi para pendatang baru.
Menteri Pendidikan Italia, Mariastella Gelmini, mengatakan, "Adanya salib dalam kelas merupakan simbol dalam tradisi kami." Diktator fasis Benito Mussolini mendeklarasikan sebuah undang-undang tahun 1924 yang memerintahkan semua ruang kelas harus memajang salib. Meski ada sejumlah upaya untuk menghapus undang-udang itu dalam beberapa tahun terakhir, tetapi aturan itu tetap berlaku hingga kini.
Lautsi, yang berkewarganegaraan Finlndia, mengatakan, dia merasa adanya salib dalam kelas di mana anak-anaknya Dataico (11 tahun) dan Sami Albertin (13 tahun) belajar merupakan pelanggaran terhadap kebebasan mereka dan pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama.
Kasus yang telah berlangsung delapan tahun itu terjadi di sebuah sekolah dasar pemerintah di Abano Terme dekat Padua di Italia utara. Lautsi membawa kasus itu ke Strasbourg setelah pengadilan lokal menolak gugatannya.
Kemarin, dalam sebuah keputusan sepanjang 16 halaman, tujuh hakim Pengadilan HAM di Strasbourg menanggapi pengaduannya dengan mengatakan, "Kehadiran salib dapat dengan mudah diinterpretasi oleh murid-murid pada semua umur sebagai lambang agama dan mereka merasa bahwa mereka dididik di sebuah lingkungan sekolah dengan agama tertentu. Hal ini dapat mendorong murid-murid yang bergama, tetapi juga mengganggu murid-murid yang menjalankan agama lain atau ateis, terutama jika mereka menjadi agama minoritas."
Dengan itu, pengadilan menolak argumen legal Italia yang menyatakan bahwa salib merupakan sebuah simbol yang mempromosikan pluralisme. Seorang juru bicara Vatikan mengatakan, "Kami akan mencermati secara saksama putusan pengadilan itu sebelum menyampaikan komentar."
Seorang anggota Partai Orang-Orang Bebas, partai Perdana Menteri Silvio Berlusconi, Antonio Mazzocchi, menanggapi putusan itu dengan mengatakan, "Eropa telah melupakan akar kekristenannya." Sementara Alessandra Mussolini, cucu Benito Mussolini, mengatakan, "Ini merupakan upaya untuk mengikis akar kekristenan kami. Mereka sedang mencoba menciptakan Eropa yang tanpa identitas dan tradisi."
Salib merupakan sesuatu yang umum di gedung-gedung publik Italia meskipun undang-undang telah memisahkan gereja dan negara. Dalam praktiknya, karena katolisisme menjadi bagaian dari identitas kultur Italia, lembaga-lembaga lokal bisa memutuskan apakah mereka ingin menempatkan salib di sekolah-sekolah dan gedung pengadilan di mana kebanyakan dari lembaga itu melakukannya. ( kompas.com )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar