Ternyata Jadi Teroris Bukanlah Sebuah Pilihan. Indonesia rawan terorisme. Bukan hanya jadi sasaran teror, sekaligus tempat persemaian yang subur bagi teroris. Ini merupakan hal yang layak kita renungkan. Kondisi psikologis seperti apa yang mendorong orang-orang muda berusia produktif itu menjadi teroris?
Terorisme dapat diartikan sebagai gerakan suatu kelompok yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan. Bila demikian, berarti terorisme dapat berupa gerakan dari penguasa maupun dan rakyat, tanpa membedakan siapa sasarannya.
Yang akan dibahas adalah terorisme dalam arti gerakan suatu kelompok bawah tanah yang dilandasi ideologi tertentu dalam melakukan perlawanan terhadap pemegang kekuasaan dengan melakukan aksi kekerasan atau ancaman terhadap keselamatan anggota masyarakat.
Pengungkapan kasus-kasus terorisme di Indonesia menunjukkan, banyak orang muda berhasil direkrut menjadi anggota kelompok teroris. Di beberapa daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah ditemukan fakta yang mengarah sebagai bukti adanya pembinaan terhadap orang-orang muda menjadi anggota teroris.
Padahal, terorisme pada umumnya berkembang di daerah-daerah yang secara sosial politik mengalami konflik atau penindasan. Antara lain terorisme di Irlandia (masa konflik Inggris-Irlandia), terorisme dalam konflik Israel-Palestina. Daerah-daerah terjadinya separatisme, seperti Aceh beberapa waktu lalu, juga Papua, merupakan daerah yang rawan terorisme.
Bila kondisi sosial-politik tidak cukup kuat menjadi alasan berkembangnya aksi teror, kita perlu lebih sungguh-sungguh menengok kondisi sosial psikologis yang mungkin melatarbelakangi perkembangan kelompok teroris. Kita perlu ambil bagian dengan membangun kondisi psikologis yang mendukung orang-orang muda mengembangkan diri secara konstruktif, tanpa jalan kekerasan.
Gambaran sekilas
Bila kita bayangkan, seorang teroris adalah sosok yang ambil bagian dalam penyerangan dengan senjata atau bom, entah sebagai penyusun strategi, perakit bom, pelaku penyerangan / peledakan, dan sebagainya. Mereka siap bertindak tanpa memedulikan penderitaan banyak orang yang menjadi korban.
Sesungguhnya antara korban dengan teroris sejatinya tidak memiliki persoalan apa pun. Itulah yang kita saksikan dalam kasus, seperti bom Bali I dan II, dan pengeboman di Jakarta. Jadi siapakah sebenarnya musuh mereka? Tidak jelas.
Bila mereka bertindak dengan ideologi tertentu atas nama agama, adakah pihak yang menindas agama yang mereka bela? Bila ya, siapakah penindasnya? Mengapa mereka tidak langsung saja menyerang pihak-pihak yang secara riil menindas? Tampak bahwa mereka sebenarnya tidak berdaya berhadapan dengan musuh, sehingga menyerang pihak yang bukan semestinya.
Bahwa tindakan itu dibalut rasa kepahlawanan, mungkin hanya merupakan mekanisme psikologis yang mereka ciptakan sebagai kompensasi atas ketidakberdayaan yang dialami. Bahwa mereka bertindak menyerang dengan sasaran yang bukan musuh ril, berarti mereka menyerang lebih karena kondisi psikologis yang dikuasai rasa permusuhan, tanpa objek yang jelas.
Dorongan agresi dahsyat yang terpendam mungkin berakar pada masa kecil yang banyak mengalami kekecewaan. Pelampiasan dorongan agresi dapat melalui saluran bermacam-macam. Namun, bahwa sebagian orang merasa cocok bergabung dengan kelompok teroris, ini menunjukkan bahwa dorongan agresi mereka berkaitan dengan kebutuhan tertentu, yang jawabannya mereka temukan dalam keanggotaan sebagai kelompok teroris.
Menjawab kebutuhan?
Kekerasan merupakan ciri utama dari terorisme. Ciri lainnya adalah membentuk kelompok bawah tanah, menggunakan ideologi tertentu sebagai landasan gerakan, dan adanya perlawanan terhadap pemegang kekuasaan. Unsur-unsur ini mungkin merupakan jawaban atas kebutuhan psikologis orang-orang tertentu yang berpotensi jadi teroris.
Kelompok merupakan sumber harga diri bagi seseorang. Dengan bergabung dalam suatu kelompok, seseorang dapat memenuhi kebutuhan akan identitas sosial. Dengan demikian, kelompok menjadi sumber harga diri terutama bagi individu yang mengalami rasa keterasingan.
Dengan ideologi kuat disertai loyalitas yang tinggi terhadap pimpinan dan organisasi, anggota teroris akan mengalami suatu totalitas sebagai pribadi. Hal ini mungkin merupakan jawaban atas keadaan jiwanya yang semula mengalami kekaburan identitas, gambaran diri negatif, serta tak adanya figur atau institusi yang memungkinkan ia mengalami totalitas.
Seseorang merasa cocok menjadi anggota kelompok terorjis tentu karena terdapat kesesuaian antara misi kelompok dengan kebutuhan atau nilai-nilai pribadinya. Dengan melakukan perlawanan terhadap pemegang kekuasan melalui jalur bawah tanah, tampaknya ini merupakan saluran yang "tepat" bagi dorongan bawah sadar berupa tumpukan amarah terpendam terhadap figur pemegang otoritas.
Perlawanan terhadap pemegang kekuasaan saat ini mungkin merupakan manifestasi kemarahan terpendam terhadap otoritas yang menindasnya pada masa kecil, yang mungkin saja adalah orangtua sendiri.
Begitu banyak orang, bahkan banyak yang menyebut diri religius, tidak belajar pelajaran mencintai (termasuk berdoa untuk mengampuni) musuh-musuh mereka. Mereka malah membenci, menggugat, protes, dan menyingkirkan musuh mereka; menjadi teroris di dalam hati mereka sendiri, di komunitas mereka, dan akhirnya di dunia.
Jadi, pada akhirnya terorisme menunjuk pada satu kenyataan pahit kondisi psikologis. Satu-satunya masalah yang tidak terselesaikan adalah masalah menolak solusi. Tuntutan teroris politik tidak lain adalah meminta orang lain untuk mengakui "kesalahan" dan mengubah perilaku mereka.
Bahkan, ketika terancam dengan perang dan kehancuran, ia akan menolak negosiasi karena negosiasi memerlukan kesediaan untuk meletakkan harga diri. Terjebak dalam masalah menolak solusi, ia menolak untuk menerima solusi nyata: bahwa ia sendiri harus hidup sesuai dengan nilai-nilai kejujuran dan integritas yang ia tuntut dari orang lain.
Dalam penolakan, ia mencemarkan hal yang sangat diinginkannya. la mencemarkan cinta. Demikianlah, teroris yang paling menakutkan adalah teroris dalam hati kita sendiri. [ kompas.com ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar