Masalah Baru Jika Ahmadiyah Jadi Agama Baru

Masalah Baru Jika Ahmadiyah Jadi Agama Baru - Saat gonjang-ganjing Ahmadiyah lantaran direkomendasikan oleh Bakor Pakem Kejaksaan Agung (16 April 2008) agar Ahmadiyah menghentikan kegiatannya karena terbukti menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam —lagi pula memalsu kenabian dan membajak-bajak kitab suci Al-Qur’an—; maka muncul aneka suara.

Kejadian itu terulang dan terulang lagi, kini ramai lagi setelah peristiwa Cikeusik Pandeglang Banten, Ahad 6 Februari 2011 M / 3 Rabi’ul Awwal 1432H. Jemaat Ahmadiyah yang menurut Polisi memprovokasi massa sehingga terjadi bentrokan antara Ahmadiyah dengan massa, mengakibatkan 3 orang jemaat Ahmadiyah mati, dan lima orang luka-luka. Setelah itu, suara-suara pun pating clebung (berbagai bunyi, belum tentu jelas landasannya).

Yang membela Ahmadiyah berbicara ngawur-ngawuran, banyak. Hingga ada yang sampai disomasi karena menghina ulama; yaitu kasus Adnan Buyung Nasution yang dikenal membela Ahmadiyah secara ngawur-ngawuran hingga melontarkan perkataan bahwa KH Ma’ruf Amin salah seorang ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) tidak tahu diri. Suara Buyung itu berbuah reaksi keras dari Alumi (Aliansi Umat Islam) Jawa Barat, akan mensomasi Buyung bila tak mencabut perkatannya yang menghina ulama itu.


http://a.cdn.tendaweb.com/fckfiles/image/analisa/demo_menuntut_pembubaran_ahmadiyah.jpg

Demo Menuntut Pembubaran Ahmadiyah


Setelah kasus Cikeusik pun tidak kalah banyaknya suara yang pating clebung membela Ahmadiyah itu. Hingga ada sorotan tajam, di antaranya berjudul Yenny Wahid bagai laron AKKBB yang Jadi Duta Kesesatan, nahimunkar.com, February 13, 20119:37 pm, http://www.nahimunkar.com/yenny-wahid-bagai-%E2%80%9Claron%E2%80%9D-akkbb-yang-jadi-duta-kesesatan/

Juga tulisan berjudul Para Pembela Ahmadiyah Bejibun dan Ngawur, Ancaman Dahsyat Neraka Tersedia, nahimunkar.com, February 11, 201110:47 pm, http://www.nahimunkar.com/para-pembela-ahmadiyah-bejibun-dan-ngawur-ancaman-dahsyat-neraka-tersedia/

Di balik yang membela Ahmadiyah secara ngawur-ngawuran itu banyak pula yang tampak bersemangat untuk membubarkan Ahmadiyah, mendesak pemerintah untuk melarang dan membubarkan Ahmadiyah.

Di sela-sela semangat dan ghirah Islamiyah itu ada pula suara aneh. Tampaknya mendukung pembubaran Ahmadiyah, bahkan tampak memberi solusi, namun sebenarnya aneh. Yaitu suara yang beredar di masyarakat, tampaknya sebagai saran dan jalan keluar. Misalnya ada yang mengatakan: Silahkan Ahmadiyah membuat agama baru tersendiri, tidak usah membawa-bawa Islam, maka kami akan hidup berdampingan dengan damai di negeri ini. Tidak ada masalah.

Saran itupun masih pula dengan memberikan nama-nama, misalnya: Dirikan saja agama baru dengan nama agama anu atau agama anu.

Astaghfirullohal ‘adhiem.

Kalau saran itu keluar dari orang yang sama sekali tidak tahu tentang Ahmadiyah, dan bahkan tidak tahu sama sekali tentang Islam, misalnya, maka masih bisa sedikit dimaklumi, walau orang yang tidak ada ilmu sebenarnya tidak boleh memberi saran. Tetapi yang sangat mengerikan, ketika saran menjerumuskan itu justru datang dari orang yang tampaknya mengerti tentang Islam, dan mengerti pula tentang sesatnya Ahmadiyah. Ini yang jadi persoalan besar.

Kenapa?

Karena saran itu mengandung berbagai macam penjerumusan.

Satu: Ahmadiyah itu aliran sesat, menyangkut aqidah atau keyakinan. Ketika yang jelas sesat itu disuruh untuk mendirikan agama tersendiri, dan nantinya kita akan hidup berdampingan dengan mereka secara damai, itu sangat menbahayakan. Itu lebih buruk ketimbang orang yang bilang: “Kamu kalau mau nyolong (mencuri) silahkan nyolong, asal jangan di rumah saya atau di kampung ini. Dan nanti kita hidup berdampingan dengan damai, tidak ada masalah, asal mencurinya jangan di kampung ini.”

Betapa buruknya saran yang menjerumuskan ini. Padahal masalahnya hanya mencuri harta, tidak sampai mencuri aqidah dan mengubahnya; mengalihkan dari Islam kepada kafir. Maka betapa besar keburukannya ketika yang dicuri itu bukan hanya barang tetapi aqidah atau keyakinan Islam. Jadi saran itu benar-benar menjerumuskan, dan kalau dilaksanakan maka yang memberi saran akan mendapatkan dosanya, na’udzubillahi min dzalik. Karena Nabi shalllallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

Dan barangsiapa yang memulai kebiasaan buruk, maka dia akan mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengikutinya sesudahnya, dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun. (HR Muslim).

Dua: Kalau Ahmadiyah mendirikan agama baru tersendiri akibat saran itu, maka tidak menyelesaikan masalah. Kenapa? Karena Ahmadiyah itu membajak-bajak wahyu Allah dalam Al-Qur’an, kemudian diklaim sebagai wahyu untuk Mirza Ghulam Ahmad, dan dimaknakan sesuai dengan kemauannya, sehingga sangat berubah. Contohnya, surat Al-Fath ayat 29, dibajak oleh Mirza Ghulam Ahmad kemudian diklaim bahwa lafal Muhammad dalam ayat itu maksudnya adalah diri Mirza Ghulam Ahmad. Makanya dalam kasus 12 butir pernyataan JAI (Jemaat Ahmadiyah Indonesia), butir pertama mereka mengaku syahadatnya sama dengan Islam, tetapi sebenarnya dusta, karena lafal Muhammad menurut pengertian mereka adalah Mirza Ghulam Ahmad. Ini buktinya:

Tentang Syahadat Ahmadiyah

Pada poin dari pernyataan JAI (Jemaat Ahmadiyah Indonesia) disebutkan bahwa kalimah Syahadat Jemaat Ahmadiyah sama dengan kalimah Syahadat umat Islam pada umumnya, yaitu:


َ أ شْهَدُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ


Artinya: “Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah.”

Pada kenyataannya, meskipun redaksi kalimat Syahadatnya sama, akan tetapi orang yang dimaksud dalam kalimat syahadat tersebut berbeda. Nama MUHAMMAD dalam syahadat tersebut menurut para pengikut/tokoh Ahmadiyah adalah Nabi/Rasul mereka, yaitu Mirza Ghulam Ahmad yang lahir di India, sebagaimana tercantum dalam buku Memperbaiki Kesalahan, karya Mirza Ghulam Ahmad, yang dialih bahasakan oleh H.S. Yahya Pontoh, dan diterbitkan oleh Jemaah Ahmadiyah cabang Bandung, tahun 1993, pada halaman 5 tertulis:


مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ


"Dalam wahyu ini Allah SWT menyebutku Muhammad dan Rasul" (Kitab Tadzkirah halaman 97).

Itulah dusta dan liciknya Ahmadiyah: ayat yang jelas-jelas mengenai Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun diputar balikkan menjadi Allah SWT menyebutku (maksudnya Mirza Ghulam Ahmad sebagai) Muhammad dan Rasul.

Di sinilah umat Islam banyak tertipu dengan syahadatnya orang-orang Ahmadiyah, sehingga umat Islam menganggap bahwa yang dimaksud "Muhammad" dalam syahadat Ahmadiyah adalah Muhammad bin Abdullah yang lahir di Makkah Al Mukarramah. Padahal, yang dimaksud Muhammad dalam syahadat Ahmadiyah adalah Ahmad, yaitu Mirza Ghulam Ahmad dari India yang menjadi Nabi Jemaat Ahmadiyah.

Setelah Ahmadiyah dapat menipu Ummat Islam dengan syahadat yang bunyinya sama tetapi maksudnya lain, lalu para pembela aliran sesat Ahmadiyah seperti Gunawan Mohamad pemimpin Tempo pun menyuara bahwa syahadat Ahmadiyah adalah sama dengan syahadat Ummat Islam.

Di situlah penipu didukung oleh penipu, lalu didukung-dukung pula oleh antek-antek penipu itu, karena anteknya memang bejibun (banyak). Sesuai dengan uraian dalam artikel Para Pembela Ahmadiyah Bejibun dan Ngawur, Ancaman Dahsyat Neraka Tersedia.

(Untuk lebih jelasnya tentang tipuan syahadat dan sebagainya itu, silahkan membaca referensi otentik yang terdapat di kantor LPPI , Jakarta). (M Amin Djamaluddin, Kebohongan Terbaru Ahmadiyah, LPPI Jakarta, cetakan 1, 2008, halaman 24-25).

Jadi kalau toh Ahmadiyah mendirikan agama baru lagi, sedang modalnya itu adalah bahan-bahan pokok yang ada di Islam, kemudian diubah-ubah maksudnya, maka tetap saja menodai Islam. Sehingga orang yang menyuruh agar Ahmadiyah mendirikan agama baru tersendiri itu lebih buruk ketimbang menyuruh orang yang sudah jelas-jelas mencuri bahan-bahan penting dari satu bangunan gedung, kemudian didirikan gedung tersendiri pakai bahan hasil curian itu, maka tetap saja hasil curian. Ini tetap tidak dapat dibenarkan.

Tiga: Suruhan agar Ahmadiyah membuat agama baru tersendiri, dan diiringi dengan ungkapan, nanti kita hidup berdampingan secara damai; itu sangat bertentangan dengan Islam. Karena Allah pun ketika mempersilakan siapa yang mau kafir maka kafirlah itu sifatnya adalah ancaman, bukan mempersilahkan, apalagi diembel-embeli secara dami segala. Allah swt berfirman:


وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا(29)


Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (QS. Al-Kahfi [18] : 29)

Imam Ibnu Katsir menyatakan, penggalan ayat ini ( وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir) termasuk ancaman keras. Oleh karena itu Dia berfirman:


إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا


Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka.

Orang-orang zalim dalam ayat ini, menurut Ibnu Katsir, adalah orang-orang yang kafir terhadap Allah, Rasul-Nya, dan kepada kitab-Nya. (Tafsir Ibnu Katsir, Surat al-Kahfi ayat 29)

Dengan demikian, mempersilahkan orang Ahmadiyah untuk membuat agama sendiri dan kita akan hidup berdampingan dengan mereka dengan damai adalah sangat bertentangan dengan Al-Qur’an yang mengancam siapapun yang kafir telah disediakan neraka bagi mereka.

Mungkin orang akan berkilah, masalah nereka kan urusan Allah.

Kilah itu sangat tidak menggunakan akal. Sebagaimana orang berbuat jahat, kelak yang akan memasukkan ke neraka juga Allah, tetapi apakah boleh, kita menyarankan agar orang berbuat jahat kemudian kita ucapi “dan berbuat jahatlah kamu asal tidak menjahati saya, maka kita hidup berdampingan dengan damai.” Tentu saja itu adalah saran menjerumuskan!

Empat: Dalam hal agama, sudah ada contoh nyata bahwa kita berlepas diri dari agama apapun selain Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ(6)

"Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku". (QS. Al-Kafirun [109] : 6)


قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ


Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. (QS. Al-Mumtahanah [60] : 4)

Imam Ibnu katsir menjelaskan, maksudnya permusuhan dan kebencian di antara kami dan kalian telah ditetapkan mulai sekarang, selama kalian tetap pada kekafiran kalian, sedang kami selama-lamanya melepaskan diri dari kalian dan membenci kalian. (Tafsir Ibnu katsir, Surat Al-Mumtahanah [60] : 4)

Ibrahim ‘alaihis salam mengatakan bahwa antara dia dengan kaumnya yang ingkar itu telah terjadi permusuhan dan saling benci membenci selama-lamanya. Ibrahim menyatakan akan tetap menantang kaumnya itu sampai mereka meninggalkan perbuatan syirik itu. Jika mereka telah beriman barulah hilang permusuhan itu. (Al-Qur’an dan Tafsirnya, Departemen Agama RI, 1985/1986, jilid X, halaman 102).

Contoh yang dikemukakan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah jelas, yaitu yang dilakukan Nabi Ibrahim as beserta pengikutnya terhadap kaum kafir. Kenapa justru kini ada orang-orang yang membuat saran yang sangat berbeda jauh dengan yang telah dicontohkan dalam Al-Qur’an? Bagaimana kalau Ahmadiyah kemudian benar-benar mendirikan agama baru dengan mengikuti saran penjerumusan itu? Na’udzubillah. Orang yang memberi saran itu akan dimintai pertanggungan jawab. Apakah punya hak untuk itu? Dan ternyata tidak. Setelah tidak, maka terkena lah dia ancaman hadits:


وَمَنْ سَنَّ في الإسْلامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيهِ وِزْرُهَا ، وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ ، مِنْ غَيرِ أنْ يَنْقُصَ مِنْ أوْزَارِهمْ شَيءٌ )) رواه مسلم .


Dan siapa yang membuat jalan keburukan dalam Islam maka dia mendapatkan dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya setelahnya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun. (HR Muslim)

Imam an-Nawawi dalam syarah Shahih Muslim mengatakan, hadits ini memperingatkan agar menghindar dari menciptakan kebatilan-kebatilan dan keburukan-keburukan.

Keburukan mana yang lebih besar dibanding membuat agama baru? Kenapa berani-beraninya menyarankan agar membuat agama baru?

Oleh karena itu, sadarlah wahai umat Islam, jangan sampai ada saran semacam itu. Dan kalau sudah terlanjur, maka mestinya harus dicabut, dan bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat atau taubatan nasuha.

Adapun orang Ahmadiyah, maka lepaskanlah keyakinan batilmu. Masuklah Islam, maka kami akan bersaudara dengan kalian. Bila tidak, maka bagi kami telah ada teladan yang baik dari Nabi Ibrahim ‘alaihis salam itu tadi. Sekian.

*Hartono Ahmad Jaiz adalah penulis buku Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat; juga buku Kyai Kok Bergelimang Kemusyrikan yang banyak membincang kesesatan Ahmadiyah dan lainnya. ( eramuslim.com )




My be this artikel's that you need...!!!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar