Kondisi itu sangat kontras, ketika Tajikistan mengusung semangat sekularisme diawal berdirinya. Sejalan dengan itu, sekulerisme yang ditawarkan tidak serta merta menghilangkan kerinduan terhadap Islam. Wal hasil, berbondong-bondong warga Tajikistan mengikuti saudara-saudara mereka di berbagai penjuru dunia untuk kembali pada Islam.
Perkembangan itu telah menjadi perhatian khusus pemerintah sekular Tajikistan. Mereka takut Islam di Tajikistan memiliki pengaruh yang sangat besar. Dalih radikalisme selanjutnya menjadi tumpuan pemerintah guna menghentikan pertumbuhan umat Islam di Tajikistan.
Tak heran bila banyak pria berjanggut telah ditahan secara acak, dan wanita dilarang untuk mendatangi masjid. Tahun ini, pemerintah Tajikistan menarik kembali mahasiswa yang tengah mendalami ilmu agama di Mesir, Suriah dan Iran. Langkah ekstrim lain, polisi menutup paksa masjid pribadi dan situs–situs Islam, dan melakukan sensor ketat pelaksanaan khotbah Jumat.
Kalangan kritikus menyamakan upaya yang dilakukan pemerintah Tajikistan meniru gaya Uni Soviet saat mematikan penyebaran Islam. Mereka memperingatkan, larangan terhadap pemuda untuk mendatangi masjid melalui undang-undang yang baru saja diberlakukan sama saja dengan kebijakan bunuh diri lantaran efek yang dihasilkan semakin memperkuat keinginan pemuda untuk meramaikan masjid.
"Ada kemungkinan bahwa tingkat radikalisasi di dalam negeri bisa meningkat," kata Mahmadali Hait, wakil ketua Partai oposisi Islam Tajikistan Revival.
Ancaman
Rasa was-was pemerintahan sekular Tajikistan kian bertambah. Apalagi, perkembangan kelompok Taliban di Afganistan dianggap memperkeruh suasana. "Kami telah mengamati upaya beberapa tahun terakhir gerakan-gerakan ekstremis untuk mempengaruhi pandangan anak-anak kita tentang dunia," kata Presiden Tajikistan, Emomali Rakhmon, dalam sebuah pidato pada April lalu.
"Para pemimpin dari berbagai kelompok-kelompok ekstremis mulai bermunculan dalam lembaga-lembaga akademik guna merekrut pemuda-pemuda berpengalaman," lanjutnya.
Pakar independen mengatakan ada sedikit bukti bahwa kelompok-kelompok Islam militan telah menemukan banyak pengikut di Tajikistan. Sebaliknya, mereka mengatakan otoritas daerah sering menggunakan ancaman ekstremisme Islam sebagai dalih untuk menindak lawan politik dan pendukung mereka.
Rakhmon dan lingkaran dekatnya, merupakan sisa-sisa dari pemberontak anti Kremlin. Mereka berhasil merebut pucuk kekuasan melalui perang saudara yang brutal terhadap oposisi Muslim. Diawal mereka menjanjikan rekonsiliasi dengan menjanjikan tokoh-tokoh oposisi dengan jabatan strategis. Faktanya oposisi Muslim kebanyakan dipenjara, diasingkan atau dibunuh.
"Kami dianggap sebagai ekstremis oleh mereka," kata Akbar Khodzhi Turadzhonzoda, seorang pemimpin Islam terkemuka dan mantan anggota Parlemen Tajikistan. Menurut dia, berbicara soal radikalisme Islam di Tajikistan adalah dusta.
"Mereka berniat untuk menipu rakyat, memperkuat kediktatoran, dan menghabiskan lebih banyak uang pada senjata dan dinas rahasia." sambung dia lagi.
Larangan ke Masjid
Suasana kian memanas ketika pemerintahan sekular menyiapkan paket undang-undang yang mengatur pembatasan anak untuk menghadiri masjid. Presiden Tajikistan mungkin belum menandatangi paket Undang-undang itu. Namun, di lapangan pemerintah mulai menegakan aturan tersebut di sejumlah tempat.
"Undang-undang tidak mencegah anak-anak atau orang lain untuk menjalankan keyakinannya," sanggah Mavlon Mukhtorov, Wakil Ketua Komite Urusan Agama Tajikistan.
Menurut dia, banyak dari masyarakat Tajik yang membutuhkan bimbingan agama. "Untuk itu, UU ini disahkan agar orang tua dari anak-anak memenuhi tanggung jawab guna membesarkan mereka," kata Mukhtorov.
Dikatakan Mukhtorov, anak-anak harus bersekolah. Jika mereka banyak menghabiskan di masjid maka anak-anak tidak bisa belajar. Undang-undang, lanjutnya, tidak akan mencegah anak-anak belajar Islam di salah satu yang sekolah yang dikelola pemerintah Tajikistan atau sekolah-sekolah agama.
Dunia barat, utamanya Amerika Serikat mengutuk pelanggaran yang dilakukan Tajikistan terhadap kebebasan beragama. Meski demikian, AS melihat perkembangan ekstremisme yang dibayangkan pemerintahan Tajikistan mungkin saja benar.
"Pemerintah bekerja untuk memastikan bahwa struktur teroris asing tidak mempengaruhi anak-anak muda terhadap tayangan yang mendistorsi ajaran Islam," kata Zaur Chilayev, 32, seorang insinyur. "Ancaman selalu hadir, terutama mengingat tetangga kita," katanya lagi.
Para kritikus mengatakan akar dari ekstrimisme di Tajikistan adalah persoalan kemiskinan. Untuk itu pemerintah sewajarnya membuat kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan pemerataan kesejahteraan bukan kebijakan kontra produktif.
Masalah seperti itu, menurut kritikus, tampak jelas ketika anak-anak muda lebih memilih mengemis uang receh di halaman masjid ketimbang beribadah. "Kami terlalu muda," kata seorang anak. ( republika.co.id )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar