Perang Agama dan Budaya

Perang Agama dan Budaya. Huntington tampaknya tidak bohong dalam hal yang satu ini. Bahwa, setelah peristiwa 11 September 2001, AS sangat serius dalam ”menggarap” Islam. Dalam bukunya, Who Are We?: The Challenges to America’s National Identity” (New York: Simon&Schuster, 2004), Huntington menulis: “The rhetoric of America’s ideological war with militant communism has been transferred to its religious and cultural war with militant Islam.” Jadi, menurut Huntington, perang ideologis AS dengan kaum komunis militan, kini telah digantikan dengan perang agama dan perang budaya dengan Islam militan.

Meskipun secara formal, banyak pejabat AS yang menyangkal kebenaran pendapat Huntington, tetapi fakta di lapangan menunjukkan, memang kebijakan luar negeri AS kini banyak diarahkan pada upaya ”penjinakan Islam”. Dalam sejarah kolonialisme dan orientalisme, ini memang bukan hal yang baru. Di Indonesia, upaya untuk menciptakan kelompok yang ”ter-Barat-kan” di kalangan kaum pribumi, telah dilakukan oleh penjajah Belanda. Kelompok inilah yang secara aktif membendung aspirasi Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan cara ini, tentu ”sang Tuan” tidak perlu capek-capek lagi menghadapi umat Islam.

.

Kini, di era imperialisme modern, tampak program keagamaan AS semakin jauh memasuki area-area yang sangat personal dari kaum Muslim, yakni urusan pemahaman dan keyakinan agamanya. Seriusnya AS dalam pengembangan dan penyebaran Pluralisme Agama di Indonesia bisa menjadi salah satu indikator penting, bagaimana seriusnya program penggerusan keyakinan umat beragama, khususnya Islam.

Untuk menyimak usaha tersebut, simaklah aktivitas salah satu pusat kegiatan penyebaran paham lintas agama yang bernama Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) di UGM Yogyakarta. Program ini diakui sebagai bagian dari misi diplomatik AS di Indonesia. Ini bisa dibaca pada Laporan Kebebasan Beragama tahun 2007 yang dibuat oleh Keduataan AS di Jakarta (http://www.usembassyjakarta.org/bhs/Laporan/Laporan_Kebebasan_Beragama_2007) :

”Misi diplomatik AS terus mendanai Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. CRCS bekerja bersama Radio Republik Indonesia dalam pembuatan acara bincang-bincang dua bulanan yang mengangkat masalah kebebasan beragama, toleransi, dan demokrasi. Selain siaran radio langsung, program tersebut ditayangkan di TVRI Yogyakarta, yang memungkinkan dilakukannya penyebaran ide-ide ini kepada masyarakat di Yogyakarta dan daerah sekitar di Jawa Tengah. Isi program tersebut diterbitkan dalam surat kabar setempat

Misi diplomatik AS juga mendukung program seminar kampus yang bertujuan memperkuatkan pendukung pluralisme di kampus-kampus Islam dan menguatkan pemahaman tentang kebebasan beragama, toleransi, pluralisme, dan kesetaraan jender. Diskusi-diskusi publik diadakan di beberapa kampus di Jakarta, Serang, Rangkasbitung, Yogayakrta, Surabaya, Mataram, dan Medan bekerjasama dengan berbagai universitas Islam dan universitas negeri seperti Universitas Gajah Mada dan Universitas Sumatera Utara. Lebih dari 1.500 pelajar dengan berbagai latar belakang dan 50 pembicara nasional dan daerah dilibatkan dalam diskusi-diskusi tersebut.”


Begitulah programk keislaman AS. Adalah menarik, bahwa sebagai satu program studi agama tingkat S-2 di UGM, CRCS juga aktif menyebarkan paham-pahamnya ke tengah masyarakat. Melihat berbagai aktivitasnya, tampak CRCS bukan sekedar lembaga studi biasa. Dia mempunyai misi besar merombak pemikiran keagamaan masyarakat Indonesia, khususnya kaum Muslim, sehingga sejalan dengan pemahaman yang dikehendaki oleh sang pemilik dana.


Sebagai contoh, dalam rangka menjalankan misinya tersebut, pada 19 Februari 2009 lalu, CRCS menggelar acara bedah buku berjudul When Mystic Masters Meet: Paradigma Baru dalam Relasi Umat Kristiani-Muslim karya Dr. Syafa’atun Almirzanah, dosen UIN Yogyakarta. Buku ini merupakan disertasi doktor penulis di Chicago University. Karena dianggap begitu penting dalam penyebaran paham Pluralisme Agama di Indonesia, maka acara bedah buku semacam ini juga diselenggarakan di berbagai kota.


Buku ini memang tampak canggih. Maklum, selain penulisnya maraih gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) di Chicago University, ia juga meraih gelar Doctor of Ministry (D.Min) di Catholic Theological Union of Chicago. Ia membandingkan pemikiran dua pemikir terkenal dalam sejarah Islam dan Katolik, yaitu Ibn Arabi dengan Meister Eckhart. Tapi, jika ditelaah dengan cermat, perspektif yang digunakan dalam penulisan buku ini adalah filsafat perenial dan gagasan Kesatuan Transendensi Agama-agama (Trancendent Unity of Religion). Penulisnya menolak pemahaman kaum Muslimin pada umumnya, bahwa agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw berfungsi menghapus (abrogate) agama-agama wahyu sebelumnya. Ditulis dalam bukunya:


”Kebanyakan pemahaman Muslim kontemporer mengenai keanekaragaman agama berdasar pada ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tradisi agama-agama selain Islam. Berbeda dengan kebanyakan Muslim lain yang percaya bahwa ayat-ayat eksklusif tertentu dalam al-Quran menghapus (naskh) ayat-ayat inklusif tertentu di dalamnya – sehingga mempunyai kesimpulan yang menegaskan bahwa Islam menghapus agama-agama yang ada sebelumnya – Ibn Arabi tidak mempunyai kesimpulan yang demikian.”


Seperti dilakukan oleh sejumlah kaum liberal di Indonesia, penulis buku ini juga tampak mencari legitimasi bagi paham Pluralisme Agama pada pemikiran dan sosok klasik dalam Islam. Dalam buku ini, yang dijadikan sebagai sasaran adalah sosok Ibn Arabi (w. 638 H/ 1240 M), yang memang sejumlah pemikirannya menjadi kontroversi di kalangan para ulama. Oleh kaum liberal, sosok Ibn Arabi dipaksakan sebagai sosok yang mendukung gagasan pebenaran semua agama dan menolak konsep Islam sebagai agama yang menghapus agama-agama Nabi sebelumnya.


Dr. Syafa’atun Almirzanah, penulis buku ini, memang dikenal sebagai aktivis Interfidei, salah satu organisasi lintas agama di Yogyakarta. Tampaknya, visinya sebagai aktivis lintas agama, mendorongnya untuk mengais-ngais khazanah klasik – dalam tradisi Islam dan Katolik – sebagai bahan legitimasi adanya “titik temu” pada level esoteris antar berbagai agama. Dalam bukunya, ia menjadikan sejumlah karya William C. Chittick, seperti Imaginal World: Ibn al-‘Arabi and the Problem of Religious Diversity, sebagai kacamata dalam melihat konsep agama-agama Ibn Arabi.


Padahal, “kaca mata” Chittick itulah yang bermasalah. Chittick sudah berasumsi, Ibn Arabi adalah sosok yang mengakui validitas semua agama. Dr. Syamsuddin Arif, dalam bukunya, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: GIP, 2008), sudah memberikan koreksi terhadap Chittick dalam menjelaskan konsep agama Ibn Arabi. Tanpa menafikan sisi kontroversial Ibn Arabi sendiri, tokoh sufi ini pun tetap menegaskan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang sah di dalam pandangan Allah SWT. Setelah Nabi Muhammad saw diutus, maka pengikut agama-agama para Nabi sebelumnya, wajib beriman kepada Nabi Muhammad saw dan mengikuti syariatnya. Sebab, dengan kedatangan sang Nabi terakhir, maka syariat agama-agama sebelumnya otomatis tidak berlaku lagi. “Fa inna syari‘ata Muhammadin shallallahu alayhi wa sallama nasikhah,” tulis Ibn Arabi.


Dr. Mohd. Sani bin Badrun, salah seorang cendekiawan alumnus ISTAC-IIUM Kuala Lumpur, selama belasan tahun telah meneliti konsep-konsep keagamaan dan konsep Tuhan Ibn Arabi. Dia menulis tesis master dan disertasi doktor tentang Ibn Arabi. Tahun 1998, dia menyelesaikan tesis masternya berjudul “Ibn al-‘Arabi’s Conception of Religion”. Ibn Arabi berpendapat, bahwa syariat para Nabi terikat dengan periode tertentu, yang akhirnya terhapuskan oleh syariat Nabi sesudahnya. Hanya al-Quran, menurutnya, yang tidak terhapuskan. Bahkan al-Quran menghapuskan syariat yang diajarkan oleh Kitab-kitab sebelumnya. Karena itu, syariat yang berlaku bagi masyarakat, adalah syariat yang dibawa oleh Nabi terakhir.


Salah satu kesimpulan penting dari teori agama-agama Ibn Arabi yang diteliti oleh Dr. Mohd. Sani bin Badrun adalah: “Kaum Yahudi wajib mengimani kenabian Isa a.s. dan Muhammad saw. Kaum Kristen juga wajib beriman kepada kenabian Muhammad saw dan al-Quran. Jika mereka menolaknya, maka mereka menjadi kafir.” Bahkan, Ibn Arabi pun berpendapat, para pemuka Yahudi dan Kristen sebenarnya telah mengetahui kebenaran Muhammad saw, tetapi mereka tidak mau mengimaninya karena berbagai faktor, seperti karena kesombongan dan kedengkian.


Fakta-fakta pendapat Ibn Arabi seperti ini sama sekali tidak muncul dalam disertasi doktor yang dipuji-puji oleh Dr. Haidar Bagir, sebagai karya yang sangat akademis, mendalam dan memikat, dan merupakan sumbangan yang tak ternilai bagi dialog antaragama. Bahkan, rektor UIN Jakarta, Prof. Komaruddin Hidayat, menulis: “Buku ini hadir tepat waktu dan penulis dengan sangat brilian menghadirkan dua ikon pemikir mistik Barat dan Timur, Kristen dan Muslim, saat agama diseret-seret dalam konflik perebutan hegemoni politik dan ekonomi sehingga wajah agama menjadi bengis.”


Kita bisa membandingkan kedalaman bahasan antara tesis Dr. Mohd. Sani Badrun dengan karya Dr. Syafaatun yang banyak merujuk sumber-sumber sekunder, terutama pada karya-karya William Chittick. Sama dengan Chittick, Syafaatun juga memaksakan visi Pluralisme dan Inklusifnya dalam memandang karya Ibn Arabi. Sebagai contoh, kutipan dari Kitab Futuhat Makkiyah yang diambil dari buku Chittick berikut ini:


”Semua agama wahyu (shara’i) adalah cahaya. Di antara agama-agama ini, agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad adalah seperti cahaya matahari di antara cahaya bintang-bintang lain. Ketika matahari muncul, cahaya bintang-bintang lain akan tersembunyi dan cahaya tercakup dalam cahaya matahari. Kondisi sebagai tersembunyi adalah seperti penghapusan agama-agama lain dengan hadirnya agama yang diwahyukan kepada Muhammad. Sekalipun demikian, hal itu sebenarnya tetap eksis, sebagaimana eksisnya cahaya bintang. Hal ini menjelaskan mengapa dalam agama inklusif kita diwajibkan untuk percaya pada kebenaran semua rasul dan semua agama yang diwahyukan. Semua agama tersebut tidak menjadi tertolak (batil) dengan adanya penghapusan (nasakh) – Itu adalah pendapat orang bodoh.”


Jadi, kesimpulan penulis buku When Mystic Masters Meet, bahwa Islam tidak menghapus agama-agama sebelumnya, memang diambil dari buku Chittick, Imaginal World: Ibn al-‘Arabi and the Problem of Religious Diversity, dan bukan pemahaman langsung dari karya-karya Ibn Arabi sendiri. Cendekiawan Muslim terkenal asal Eropa, Noh Ha Mim Keller, juga pernah secara khusus mengkritisi cara pengutipan dan pemahaman karya Ibn Arabi oleh Chittick.


Bahkan, hasil penelitian Dr. Sani pun menunjukkan, menurut Ibn Arabi, agama apa pun yang masih eksis, yang tidak mengimani kenabian Muhammad saw, maka tidak dapat dikatakan sebagai “agama wahyu” (revealed religion). Ia juga memberikan kritik keras terhadap kaum Yahudi yang menuduh Maryam tidak suci dan Yesus sebagai anak zina. Ibn Arabi juga mengkritik keras paham trinitas kaum Kristen dan berbagai penyimpangan yang telah terjadi dalam kitab-kitab sebelum al-Quran.


Adalah menarik menelusuri upaya sistematis dalam pembacaan karya-karya Ibn Arabi yang dilakukan oleh kaum Transendentalis. Menurut aliran ini, kaum Muslim dibagi menjadi dua: eksklusifis dan inklusifis. Yang terakhir, mengakui adanya kesatuan esoteris (dimensi batin) pada semua agama. Kaum sufi, menurut mereka, adalah kaum inklusifis. Kesalahan awal tentang ini muncul dari hasil penelitian tentang Ibn Arabi yang dilakukan Abu al-A’la al-Afidi, yang menyimpulkan bahwa agama Ibn Arabi adalah “agama universal” bukan Islam dalam bentuknya yang khusus.


Upaya memasukkan Ibn Arabi ke dalam barisan Transendentalis kemudian datang dari para pengkaji kesufian dari Barat, seperti Ren? Gu?non (d. 1951), Ananda Coomaraswamy (d. 1947), Titus Burckhard, Marco Pallis, Martin Lings, dan khususnya Frithof Schuon (lahir 1907). Tetapi, menurut Dr. Sani, kekacauan terbesar soal pemikiran keagamaan Ibn Arabi muncul dari karya William Chittick, Imaginal World: Ibn al-‘Arabi and the Problem of Religious Diversity. Banyak yang kemudian mengikuti secara membabi buta cara pembacaan Chittick terhadap Ibn Arabi.


Kasus disertasi doktor dosen UIN Yogya – yang disebarluaskan oleh berbagai institusi pendukung Pluralisme Agama -- ini lagi-lagi membuktikan adanya upaya yang sistematis dan sungguh-sungguh untuk merusak pemikiran kaum Muslim Indonesia. Mungkin penulisnya memang khilaf, tidak tahu, bahwa yang ditulisnya adalah salah. Setelah diberitahu, seyogyanya, dia menyadari kekeliruannya. Mungkin dia memang sengaja untuk melakukan hal itu, dan mendorong manusia untuk mengikuti jalan pikiran dan aktivitasnya. Allah Maha Tahu akan niat dan tujuan perbuatan tiap orang.


Kita kadang terheran-heran dengan kaum Pluralis. Mereka sering mengecam orang-orang yang meyakini kebenaran agamanya sendiri. Tapi, kita sering melihat, mereka pun begitu ngotot dengan pendapatnya sendiri, menutup rapat-rapat mata dan telinga dari berbagai kritik, dan kemudian bahkan memaksa orang lain untuk mengikutinya. Bahkan, orang yang sudah meninggal pun ’dipaksa’ untuk mengikuti pendapat mereka. [ dakta.com | Adian Husaini | Bangsa-Bangsa Predator ].

Baca Juga Yang Ini :



Tidak ada komentar:

Posting Komentar