Tragedi Keilmuan di UIN ( Universitas Islam Negeri ) Jakarta

Tragedi Keilmuan di UIN ( Universitas Islam Negeri ) Jakarta. Pada 4 Juni 2009 lalu, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Jakarta menggelar kuliah umum bertema "Reading for Gender: Al-Ghazali and the Nature of the Person in Islamic Ethic" yang disajikan oleh Prof. Dr. Amina Wadud. Wadud adalah tokoh feminis liberal radikal dan paling kontroversial sepanjang 14 abad menyusul ulahnya mengimami shalat Jumat di sebuah Gereja Katedral di Sundram Tagore Gallery 137 Greene Street, New York pada tahun 2005 lalu.

Selanjutnya pada 17 Oktober 2008, Wadud kembali menjadi imam dan khatib Jumat di Oxford Centre, Oxford dengan makmum laki-laki dan perempuan bercampur-baur. Shalat Jumat ini adalah aksi pembukaan sebelum memulai Konferensi Islam dan Feminisme yang digelar di Wolfson College, Oxford

Acara kuliah umum Wadud di UIN ( Universitas Islam Negeri ) Jakarta ini akhirnya harus molor hingga hampir satu jam, karena menunggu kehadiran peserta. Hal ini bisa jadi karena tidak dicantumkan nama pemateri dalam iklan baliho yang dipampang di pelataran UIN ( Universitas Islam Negeri ) Jakarta. Meskipun begitu, acara ini tetap berjalan menarik, terlebih Wadud tampil dengan retorika yang cukup memikat.

Kuliah Gender

Di awal presentasinya, Wadud mengatakan bahwa presentasinya difokuskan pada masalah gender. Sebab, dalam tradisi pemikiran Islam, konsep etika tidak didasarkan pada kesetaraan relasi kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Particularly I will be reading for gender because when you look at the ethical tradition in Islam, this ethical tradition was not base on equality between woman and man, katanya menyakinkan.

Kritiknya terhadap konsep etika dalam tradisi pemikiran Islam ditekankan pada sosok Imam al-Ghazali (w.1111), khususnya terhadap karyanya yang paling fenomenal, kitab Ihya 'Ulumiddin, bab Nikah. Menurut Wadud, al-Ghazali adalah tokoh besar yang sangat cerdas dan kritis dalam segala disiplin ilmu. Namun demikian, al-Ghazali kehilangan kecerdasan dan nalar kritisnya saat membahas masalah yang berkenaan dengan relasi gender.

Di samping itu, Imam al-Ghazali didakwa telah mendefinisikan bahwa yang disebut manusia adalah mereka yang memiliki 7 lobang (orifices). Sementara definisi ini hanya dimiliki laki-laki, sedangkan perempuan memiliki 8 lobang. Pada area privat, laki-laki mempunyai 2 lobang, sedangkan perempuan mempunyai 3 lobang. Maka secara otomatis perempuan tidak dikategorikan sebagai manusia yang sempurna. Bagi Wadud, definisi tentang manusia seperti itu adalah pengaruh pemikiran Mano (Manichaean, al-Manawiyah), Yunani dan Romawi. Lalu Imam al-Ghazali mengadopsinya kedalam pemikiran Islam. Namun sayangnya, Wadud tidak pernah menyertakan bagian teks asli karya Imam al-Ghazali yang bisa memperkuat kebenaran dakwaannya.

Tauhid Berwawasan Gender

Pemikiran Islam yang dikembangkan Imam al-Ghazali, menurut Wadud bukan saja tidak manusiawi tapi berlawanan dengan prinsip tauhid dan kesetaraan dalam Al-Qur'an. Laki-laki dan perempuan adalah setara di depan Allah. Perbedaan di antara mereka hanya ditentukan oleh takwa.

Kata tauhid yang berakar dari "wahhada", bermakna aktif. Menurut Wadud, ini berarti bahwa Allah mempersatukan segala sesuatu dalam alam semesta. Jadi yang aktif adalah Allah bukan makhluk. Allah-lah yang mempersatukan dunia empiris dan ghaib, laki-laki dan perempuan, dst. Dengan begitu Allah-lah yang bertauhid dan mentauhidkan Diri-Nya sendiri. Makna tauhid seperti ini berbeda dengan apa sudah jamak diajarkan oleh para ulama yang bermartabat, di mana segala aktivitas makhluk harus bermuara pengabdian kepada Sang Khalik.

Lebih lanjut Wadud menjelaskan bahwa tauhid juga berarti perpaduan antara tanzih (pemurnian) dan tasybih (anthropomorphize) atau penyerupaan. Tasybih berarti jamal (indah), sebab manusia serupa dengan Allah. Bagi Wadud, hal ini berkaitan erat dengan etika personal dalam diri manusia, sehingga akan memunculkan sikap toleran dan saling menghargai.

Menariknya, dengan penuh percaya diri Wadud berkali-kali membacakan ayat yang dijadikannya sandaran dalil, meskipun selalu keliru baik dari sisi hafalannya maupun gramatikanya. Man 'amila 'aamilun shalihun min dzakarin au untsa wahuwa mu'minun ulaika yadkhulunal jannah, ucapnya.

Walau begitu, di penghujung presentasinya Wadud mengunci pendapatnya dengan alasan kemanusiaan. "Anda boleh tidak setuju, boleh tidak suka, tapi Anda tidak boleh menganggap bahwa orang lain kurang kemanusiaannya dibanding Anda. Jika Anda percaya Allah dan bertauhid! Sebab meskipun mereka semua berbeda, mereka semua berasal dari Realitas Tunggal, Allah. Maka, baik Muslim atau non Muslim, laki-laki atau perempuan, homoseksual atau non homoseksual adalah sama. Anda boleh tidak setuju, tapi mereka semua adalah manusia yang setara!", paparnya di depan para peserta. (You don't have to agree, you don't even have to like, but you cannot define or consider the other as less human than youself, if you belieft in Allah and if you belieft in tauhid. Because even if they are all different, they are held together by the same Reality of Allah oneness. And so therefore moslem or not moslem that is too equal, male-female, masculine-feminine, man-woman, homosexual - non homosexual, you may not agree but they are equally human!)

Ketika ditanya oleh peserta tentang pandangan seorang feminis yang mengatakan bahwa Allah hanya melihat takwa bukan orientasi seksual seseorang, dan bahwa puncak kesetaraan tertinggi dalam feminisme adalah lesbianism --(sebab dalam paham lesbian, perempuan tidak perlu lagi bergantung pada laki-laki)-- Wadud hanya menjawab bahwa Islam menuntut iman dan amal sholeh. Tetapi tidak bisa dikatakan bahwa pelaku lesbian itu baik atau buruk, salah atau benar apalagi kurang kemanusiaannya. Di sinilah sejatinya inti pandangan "kesetaraan" kaum liberal yang mengaburkan batasan antara yang hak dan yang batil dengan alasan kemanusiaan.

Ketika dikonfirmasi argumentasinya menjadi imam bagi jama'ah laki-laki oleh peserta lainnya, dia menjawab bahwa tidak ada satupun ayat maupun hadits yang melarang perempuan menjadi imam. Pendapat seperti ini bukan saja keliru karena banyaknya hadits yang melarang perempuan mengimami laki-laki, tapi juga memalsukan kaedah yang ada, al-ashlu fil 'ibadah haram. Asal usul ibadah itu haram hingga ada nas yang memerintahkannya. Karena ibadah bukanlah inovasi dari manusia yang menyesuaikan selera zaman, tempat maupun kepentingan.

Kuliah umum yang dipaparkan Amina Wadud di UIN ( Universitas Islam Negeri ) Jakarta patut disesalkan. Bagaimana sebuah universitas Islam yang menjadi aset terbesar umat di negeri ini, memberi ruang bagi tokoh-tokoh liberal radikal semacam Wadud untuk menyebarkan idenya tanpa pembanding. Tindakan ini bukan saja keliru secara akademis, tapi juga penyimpangan terhadap amanah umat.

Apalagi dalam kata sambutannya, wakil Dekan Fakultas Ushuluddin mengharap kunjungan pertama Wadud di UIN ( Universitas Islam Negeri ) Jakarta ini bisa berlanjut di masa mendatang. Di samping itu, beliau juga menginformasikan pada Wadud bahwa pada saat itu, tengah berlangsung diskusi yang diadakan oleh fakultas yang membahas tentang Islam Liberal dan Pernikahan lintas agama, karena topik ini sangat menarik dan menjadi perdebatan antara kalangan sarjana dan ulama.

Penutup

UIN adalah lembaga akademis yang fokus pada pengembangan tradisi pemikiran dan peradaban Islam berdasarkan prosedur ilmiah. Seharusnya pemegang kebijakan di lembaga ini lebih peka terhadap isu-isu tentang konsep ilmu dalam Islam daripada menyibukkan diri bermanuver untuk kepentingan sesaat. Kuliah Wadud merupakan tragedi keilmuan yang diakibatkan oleh para akademisi yang politisi.

Hujjah al-Islam Imam al-Ghazali adalah ulama multi disiplin ilmu. Beliau bukanlah sosok yang ma'sum. Pembahasan Imam al-Ghazali dalam bab Nikah, tidak difokuskan untuk mendiskriminasikan perempuan, apalagi memandangnya bukan manusia. Pandangan yang diskriminatif tentang perempuan ini sebenarnya bisa dilacak dalam pemikiran Barat Kristen semisal Tertullian (150M), St John Chrysostom (345M-407M), Thomas Aquinas dan lainnya. Bahkan dalam "The New Oxford Dictionary of English" sikap rasional hanya dinisbahkan pada kaum laki-laki: She's not being very rational; Man is a rational being. Sementara Imam al-Ghazali dalam bab nikah mengkritisi stabilitas kekuatan rasio laki-laki. Beliau menukil perkataan Fayadh bin Najih: "Jika kemaluan laki-laki berdiri, maka sirnalah dua pertiga akalnya".

Anehnya, Wadud melemparkan pandangan yang diskriminatif ini pada sosok Imam al-Ghazali tanpa bukti. Walhasil inilah sejatinya wajah paham kesetaraan gender yang berawal dari ketertindasan, berjalan dengan kemarahan dan berujung pada kebencian laki-laki. Wallah a'lam wa ahkam bi l-shawab [hs/www.hidayatullah.com | Oleh: Henri Shalahuddin, MA | dosen STID M. Natsir Jakarta. Alumni ISID Gontor | http://www.hidayatullah.com/index.php/opini/9624-kuliah-bersama-amina-wadud- ]

Baca Juga Yang Ini :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar