Jurnalis dan Program Deradikalisasi Dalam Liputan Terorisme

Jurnalis dan Program Deradikalisasi Dalam Liputan Terorisme - Pada edisi 3 Oktober 2005, dua hari setelah tiga rangkaian bom meluluhlantahkan sejumlah restoran di Jimbaran dan Kuta, Bali, Harian Jawa Pos mempublikasikan sebuah artikel berjudul: “Kasihan, Warga Tak Berdosa Jadi Korban”. Artikel itu dibuat berdasarkan wawancaran koran itu dengan Nur Aini, istri dari buron tersangka diduga teroris, Dr. Azahari.

Hal itu terungkap dalam diskusi dan bedah buku “Panduan Jurnalis Meliput Terorisme” yang diterbitkan oleh Tim AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Jakarta.

Wawancara itu dilakukan via telepon melalui telepon oleh jurnalis Jawa Pos Rizal Husen, mengingat Nur Aini ada di Johor, Malaysia. Koran itu juga menambahi keterangan dengan wawancaranya itu merupakan wawancara secara eksklusif.

Satu bulan kemudian, Jawa Pos kembali mempublikasikan wawancaranya dengan Nur Aini. Artikel itu dimuat pada 10 November 2005, beberapa hari setelah Azahari dilaporkan tewas dalam operasi penyergapan polisi di Villa Flamboyan, Batu, Jawa Timur. Judul artikelnya “Istri Doakan Azahatri Mati Syahid”, juga diklaimnya dari hasil wawancara wartawan yang sama (Rizal Husen) dengan istri Azahari. Suara perempuan Malaysia itu juga digambarkan sesekali seperti terisak menahan tangis. Koran itu juga menggambarkan dialek Nur Aini kental dengan logat Melayu.


http://www.voa-islam.com/timthumb.php?src=/photos2/berita-1.jpg&h=235&w=355&zc=1


Ada sebuah fakta penting yang mempertanyakan wawancara Rizal Husein, sang wartawan Jawa Pos yang katanya pernah mewawancarai narasumbernya. Ternyata faktanya, Nur Aini sama sekali tidak bisa bicara. Sejak beberapa tahun sebelumnya, perempuan itu menderita penyakit kanker thyroid, yang membuat pita suara di tenggorokannya terganggu. Kebohongan telah terungkap dari seorang jurnalis Jawa Pos yang membuat berita bohong, fiktif dan rekayasa.

Kebohongan Rizal makin terang benderang, ketika beberapa saat kemudian, stasiun televisi Trans TV menayangkan wawancara langsung dengan Nur Aini. Dalam tayangan Trans TV itu, Nur hanya bisa berkomunukasi lewat tulisan tangan.

Kebohongan Rizal terungkap, ketika tidak adanya catatan data percakapan telepon dari nomor telepon yang digunakan sang wartawan tersebut dipangkalan data (database) Telkom. Meningat ia mengaku mewawancarai Nuraini via telepon.

Dewan Redaksi Jawa Pos pun langsung mengkonfirmasi Rizal. Benar saja, Rizal sama sekali tidak menghubungi perempuan itu. Alhasil, Rizal pun dipecat, dan tak termaafkan.Kepada Dewan Redaksi Jawa Pos, Rizal Husein mengaku tidak punya itikad jahat. Dia hanya ingin Jawa Pos menjadi media terdepan dalam liputan terorisme.

Dewan Redaksi Jawa Pos pun langsung mengkonfirmasi Rizal. Benar saja, Rizal sama sekali tidak menghubungi perempuan itu. Alhasil, Rizal pun dipecat, dan tak termaafkan.Kepada Dewan Redaksi Jawa Pos, Rizal Husein mengaku tidak punya itikad jahat. Dia hanya ingin Jawa Pos menjadi media terdepan dalam liputan terorisme.

Ternyata bukan hanya wartawan Jawa Pos yang pernah membuat berita bohong. Seorang jurnalis The Washington Post, Janet Leslie Cooke, pernah membuat feature dramatis tentang seorang anak kecil berkulit hitam berumur 8 tahun yang menjadi pecandu berat narkotika. Anak itu tinggal bersama ibu dan ayah tirinya yang pengedar narkoba. Ayahnya, bahkan ikut menyuntikan narkotik kepada anaknya jika sedang kecanduan.

Berkat tulisannya itu, Janet kemudian mendapat hadiah jurnalistik tertinggi di Amerika Serikat, Pulitzer. Namun belakangan, Janet tak bisa menunjukkan keberadaan si anak malang dalam beritanya. Ketika tersingkap cerita mengharukan anak itu ternyata hanya isapan jempol belaka alias fiktif. Jurnalis pembohong itu tanpa ampun dipecat dari The Washington Pos, tempatnya bekerja.

Jurnalis dan Program Deradikalisasi

Yang menjadi kemuakan jurnalis Islam di lapangan adalah kenapa setiap kali diadakan diskusi, seminar, workshop dan berbagai forum lainnya, selalu menampilkan narasumber yang tidak berimbang. Narasumbernya tak jauh dari Ansyad Mbai (Kepala BNPT), Hendropriyono (mantan BIN), Nasir Abas (mantan JI) pengamat asing seperti Sydney Jones (ICG) dan pengamat intelijen lokal lainnya yang pro polisi.

Ketika itulah, jurnalis menjadi bagian dari peserta yang mengikuti program deradikalisasi ala BNPT yang sarat dengan brandwashing (cuci otak). Akibatnya, jurnalis terjebak dengan narasumber yang punya banyak motif kepentingan.

Sementara itu, pembaca tak suka dengan keseragaman. Mereka memerlukan bacaan alternatif dengan analisis yang berbeda dan mencerahkan. Begitu juga saat wartawan dipaksa untuk hanya memiliki satu akses saja di kepolisian. Begitu ada kasus pengeboman atau terbunuhnya seseorang, maka wartawan merasa sudah cukup nongkrong di Mabes atu Polda untuk mendengar keterangan dari Humas Polri.

Wartawan itu, bisa karena malas, lelah, jenuh, atau enggan untuk melakukan verifikasi tentang korban tersebut, apakah benar sebagai pelaku atau cuma fiktif atau rekayasa polisi saja. Di zaman Munir, Kontras adalah lembaga yang menjadi penyeimbang dari informasi yang disampaikan penguasa. Tapi, kini Kontras tak segarang Munir memimpin dulu. Boleh jadi karena ada tekanan-tekanan dari pihak aparat.

Dalam liputan terorisme, banyak jurnalis tergelincir menjadi corong salah satu pihak. Ada juga yang terjebak sensasi. Ada banyak motif dibalik kesilapan itu. Sebagian terjadi murni sebagai kelalaian. Namun ada juga yang didorong nafsu jurnalis untuk menghasilkan liputan terbaik, tercepat maupun terbaru.

Terkadang, dorongan untuk menghasilkan liputan eksklusif membuat jurnalis gelap mata dan mengabaikan etika jurnalistik. Apalagi, jika dorongan mengejar eksklusivitas itu didasari oleh manajemen keredaksian yang selalu menanamkan kompetisi dengan media-media pesaing di lapangan. Akibatnya menjadi sikut-sikutan untuk menjadi yang pertama mengabarkan. Faktor lain, juga disebabkan, kelelahan atau kejenuhan sang jurnalis di lapangan sehingga mengabaikan kode etik jurnalistik saat bertugas di lapangan.

Menurut AJI (Aliansi Jurnalis Independen), ada sembilan dosa jurnalis dalam meliput kasus terorisme, yakni: mengandalkan satu narasumber resmi, lalai melakukan verifikasi, malas menggali informasi di lapangan, lalai memahami konteks, terlalu mendramatisasi peristiwa, tidak berempati pada narasumber, menonjolkan kekerasan, tidak memperhatikan keamanan dan keselamatan diri, dan menyiarkan berita bohong.

Seringkali terjadi, jurnalis memperlakukan narasumber seperti tertuduh dan tersangka. Disadari atau tidak, wartawan yang bersangkutan kerap memojokkan narasumer dihadapan audiens ( voa-islam.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar