Jurus Copypaste Dalam Temuan VCD Porno Milik Sigit Qordowi - Aksi Densus mana yang nihil dari keganjilan? Hampir semua berjalan dengan sejuta teka-teki. Wajar, otoritas yang hampir tiada batas, ditambah arogansi membuat aksi pasukan elit antiteror Indonesia ini hampir tidak ada yang mampu mengoreksi. Seluruh perangkat—mulai dari kekuatan mengintimidasi hingga pengaruh di media yang membentuk opini publik—dimiliki dengan sempurna.
Tak terkecuali dalam kasus terakhir, yang menewaskan Sigit Qordhowi dan Hendro. Salah satu yang paling mencolok perhatian adalah ditemukannya 15 keping VCD porno dari rumah Sigit saat penggeledahan. Sayang, hanya potongan berita seperti itu yang beredar di media. Bagaimana proses penggeledahan—apakah dilaksanakan dengan jujur atau tidak—tak pernah diulas.
Rumah yang di dalamnya (konon) ditemukan VCD porno adalah rumah orang tua Sigit di daerah Serengan. Sabtu pagi, ayah Sigit pergi ke Semarang untuk melihat jenazah putranya. Rumah ditinggal dalam keadaan kosong dan terkunci. Dalam kondisi seperti itulah kemudian beberapa orang dari Densus 88 masuk paksa ke dalam rumah.
Pintu gerbang tidak tinggi, sehingga bisa dilalui hanya dengan meloncat, bukan merusak gembok gerbang. Namun, ketika ada seorang warga yang mengingatkan aksi Densus tersebut, mereka malah mengintimidasi. "Sudah, masuk saja ke dalam rumah!" Setelah itu, beberapa Densus 88 pun merangsek ke dalam rumah. Sementara warga yang menonton dari luar. Mana berani untuk sekadar melongok ke pintu atau jendela?
Itulah sekelumit kronologi yang kemudian pada esok harinya polisi mengumumkan penemuan senjata tajam dan beberapa barang yang dianggap sebagai bahan peledak dan senjata api. Tak terkecuali itu tadi, ehm… 15 keping VCD porno. Penemuan ini merupakan preseden yang jarang terjadi: ada "teroris" yang mengoleksi pornografi.
Kejadian ini tak berlangsung lama dari sejak pengumuman Amerika yang berhasil menyita computer Usamah bin Ladin. Dalam penjelasannya, Amerika mengatakan dalam computer tersebut juga terdapat konten porno. Nah, di sinilah sebuah temuan menarik muncul.
Amerika adalah kiblat bagi perang terhadap terorisme. Seluruh tindak-tanduk, pola dan apapun yang dilakukan Amerika menjadi model yang dicontoh—bahkan direkomendasikan oleh Amerika sendiri—oleh satuan anti-teror lain di seluruh dunia. Tak terkecuali Densus 88, yang proses kelahirannya memang dibuahi oleh Amerika.
Maka, ketika Amerika mempraktikkan jurus pembusukan dengan mengatakan Usamah mengoleksi materi pornografi, seketika itu juga jurus di-copypaste oleh Densus. Tanpa ada penjelasan dari ketua RT yang (konon) menjadi saksi penggeledahan itu. Densuslah menjadi lakon satu-satunya dan segala-galanya. Berhak mengumumkan sekaligus menghakimi, tanpa perlu melibatkan saksi.
Sama halnya ketika dengan waton njeplak (asal bunyi), Kapolda Jateng Edward Aritonang dan Kadiv Humas Polri Anton Bahrul Alam mengatakan bahwa Nuriman, tukang angkringan yang ikut tewas, tertembak oleh peluru teroris, bukan aparat Densus. Padahal, saksi dari masyarakat jelas meragukannya. Polisi dengan yakin membuat statemen tersebut, tanpa perlu adanya uji balistik dan forensik dari pihak ketiga, seolah seluruh masyarakat negeri ini 100% masih mempercayai kejujuran Polisi.
Akibatnya, desakan untuk mengevaluasi kinerja Densus 88 pun menguat kembali—meski dengan segenap kekuatan lobi dan intimidasi yang dimiliki Densus, biasanya akan berlalu begitu saja. Kontras bersuara. DPR bereaksi. Duhai, sungguh malang bagi Pak Edward dan Pak Anton. Jabatan prestise-nya sebagai Kapolda dan Kadivhumas harus tercoreng gara-gara aksi wanton njeplak gara-gara disuguhi informasi anak buanya yang juga waton njeplak.
Kembali ke soal pornografi. Mereka yang dikatakan teroris, memang manusia biasa. Memiliki hasrat terhadap lawan jenis. Namun, mereka adalah orang-orang yang biasa mengendalikan nafsu, menempatkannya pada tempat-tempat yang halal. Bukan seperti Norman, polisi selebriti yang tak ragu mengumbar adegan ciumannya di muka umum—padahal seselebiriti apapun, mestinya Norman sadar bahwa dia adalah Polisi.
Dengan sama sekali tidak menelan bulat-bulat informasi dari Polisi, preseden ini menjadi muhasabah bagi para pegiat Islam, untuk benar-benar serius menghindari maksiat. Bukan soal takut diketahui manusia bernama Densus, kemudian jadi kampanye negative bagi dirinya, tetapi, "Bukan kekuatan musuh yang aku takutkan, tetapi yang aku takutkan adalah kemaksiatan yang kalian lakukan," demikian wejangan Umar bin Khattab RA kepada pasukannya. ( muslimdaily.net )
Tak terkecuali dalam kasus terakhir, yang menewaskan Sigit Qordhowi dan Hendro. Salah satu yang paling mencolok perhatian adalah ditemukannya 15 keping VCD porno dari rumah Sigit saat penggeledahan. Sayang, hanya potongan berita seperti itu yang beredar di media. Bagaimana proses penggeledahan—apakah dilaksanakan dengan jujur atau tidak—tak pernah diulas.
Rumah yang di dalamnya (konon) ditemukan VCD porno adalah rumah orang tua Sigit di daerah Serengan. Sabtu pagi, ayah Sigit pergi ke Semarang untuk melihat jenazah putranya. Rumah ditinggal dalam keadaan kosong dan terkunci. Dalam kondisi seperti itulah kemudian beberapa orang dari Densus 88 masuk paksa ke dalam rumah.
Pintu gerbang tidak tinggi, sehingga bisa dilalui hanya dengan meloncat, bukan merusak gembok gerbang. Namun, ketika ada seorang warga yang mengingatkan aksi Densus tersebut, mereka malah mengintimidasi. "Sudah, masuk saja ke dalam rumah!" Setelah itu, beberapa Densus 88 pun merangsek ke dalam rumah. Sementara warga yang menonton dari luar. Mana berani untuk sekadar melongok ke pintu atau jendela?
Itulah sekelumit kronologi yang kemudian pada esok harinya polisi mengumumkan penemuan senjata tajam dan beberapa barang yang dianggap sebagai bahan peledak dan senjata api. Tak terkecuali itu tadi, ehm… 15 keping VCD porno. Penemuan ini merupakan preseden yang jarang terjadi: ada "teroris" yang mengoleksi pornografi.
Kejadian ini tak berlangsung lama dari sejak pengumuman Amerika yang berhasil menyita computer Usamah bin Ladin. Dalam penjelasannya, Amerika mengatakan dalam computer tersebut juga terdapat konten porno. Nah, di sinilah sebuah temuan menarik muncul.
Amerika adalah kiblat bagi perang terhadap terorisme. Seluruh tindak-tanduk, pola dan apapun yang dilakukan Amerika menjadi model yang dicontoh—bahkan direkomendasikan oleh Amerika sendiri—oleh satuan anti-teror lain di seluruh dunia. Tak terkecuali Densus 88, yang proses kelahirannya memang dibuahi oleh Amerika.
Maka, ketika Amerika mempraktikkan jurus pembusukan dengan mengatakan Usamah mengoleksi materi pornografi, seketika itu juga jurus di-copypaste oleh Densus. Tanpa ada penjelasan dari ketua RT yang (konon) menjadi saksi penggeledahan itu. Densuslah menjadi lakon satu-satunya dan segala-galanya. Berhak mengumumkan sekaligus menghakimi, tanpa perlu melibatkan saksi.
Sama halnya ketika dengan waton njeplak (asal bunyi), Kapolda Jateng Edward Aritonang dan Kadiv Humas Polri Anton Bahrul Alam mengatakan bahwa Nuriman, tukang angkringan yang ikut tewas, tertembak oleh peluru teroris, bukan aparat Densus. Padahal, saksi dari masyarakat jelas meragukannya. Polisi dengan yakin membuat statemen tersebut, tanpa perlu adanya uji balistik dan forensik dari pihak ketiga, seolah seluruh masyarakat negeri ini 100% masih mempercayai kejujuran Polisi.
Akibatnya, desakan untuk mengevaluasi kinerja Densus 88 pun menguat kembali—meski dengan segenap kekuatan lobi dan intimidasi yang dimiliki Densus, biasanya akan berlalu begitu saja. Kontras bersuara. DPR bereaksi. Duhai, sungguh malang bagi Pak Edward dan Pak Anton. Jabatan prestise-nya sebagai Kapolda dan Kadivhumas harus tercoreng gara-gara aksi wanton njeplak gara-gara disuguhi informasi anak buanya yang juga waton njeplak.
Kembali ke soal pornografi. Mereka yang dikatakan teroris, memang manusia biasa. Memiliki hasrat terhadap lawan jenis. Namun, mereka adalah orang-orang yang biasa mengendalikan nafsu, menempatkannya pada tempat-tempat yang halal. Bukan seperti Norman, polisi selebriti yang tak ragu mengumbar adegan ciumannya di muka umum—padahal seselebiriti apapun, mestinya Norman sadar bahwa dia adalah Polisi.
Dengan sama sekali tidak menelan bulat-bulat informasi dari Polisi, preseden ini menjadi muhasabah bagi para pegiat Islam, untuk benar-benar serius menghindari maksiat. Bukan soal takut diketahui manusia bernama Densus, kemudian jadi kampanye negative bagi dirinya, tetapi, "Bukan kekuatan musuh yang aku takutkan, tetapi yang aku takutkan adalah kemaksiatan yang kalian lakukan," demikian wejangan Umar bin Khattab RA kepada pasukannya. ( muslimdaily.net )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar