Setiap Ada Kasus Besar, Selalu Datang “Terorisme”?

Setiap Ada Kasus Besar, Selalu Datang “Terorisme”? - Saya warga biasa, yang kadang-kadang jenuh juga melihat perilaku Televisi dan keadaan negeri kita.

Bayangkan saja, tiap menyalakan TV, semua channel isinya bikin merinding dan tidak menenangkan. Pagi hari semua berita berisi korupsi, kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan. Sore dikit, isinya gossip gak penting. Artis A pacaran dengan aktris B, memangnya itu akan merubah kehidupan kami?

Merinding, hampir semua kasus terorisme, stasiun dan penyiar TV kita seolah justru menjadi “juru bicara” (jubir) aparat. Seolah semua yang datang dari aparat benar. Menembak dan membunuh orang boleh, meski yang bersangkutan belum tentu bersalah.

Lebih merinding lagi, kalau malam tiba, muncul lagi debat amburadul yang hanya bikin hati rusak. Melihat debat para pengacara dan politisi Indonesia, rasanya ingin meludah saja. Alhamdulillah, akhir-akhir ini, hidup saya lebih bergairah tanpa harus mengikuti TV.


http://hidayatullah.com/berita/gal310075324.jpg

Saya merasakan langsung, bagaimana tetangga dan teman-teman saya; kuli bangunan, pedagang pasar, dan kelompok-kelompok berpenghasilan rendah begitu frustasi dengan kondisi bangsa kita. Mengapa fenomena kengerian dan korupsi ini seolah tak ada habisnya? Mengapa presiden dan DPR sudah berganti berkali-kali kok koropsi malah lebih gila-gilaan?

Yang menjadi perhatian saya, mengapa setiap ada kasus besar di Indonesia, selalu saja dipastikan ada kasus baru dalam terorisme?

Saya setuju dengan data yang pernah disampaikan Dr. Yudi Latief di koran. Sebut misalnya, pasca Pilpres 2014 ketika perhatian publik terkonsentrasi terhadap isu kecurangan pemilu, tiba-tiba muncul isu teroris seiring peledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton di kawasan Kuningan Jakarta Selatan.

Kedua, ketika ada isu KPK vs Polri ramai pada September 2009, muncul “hiburan” baru, Densus menggerebek safe hause Noordin M Top di Temanggung Jawa Tengah. Lalu, media akhirnya sibuk meliput terduga Dulmatin, Ridwan dan Hasan Nur yangtewas ditembak.

Konon, Densus 88 sudah tau betul keberadaan Dulmatin jauh hari. Menariknya, kata Yudi, kasus Century memuncak, penggerebekan Dulmatin baru dieksekusi.

Ketiga, ketika perhatian masyarakay sibuk dengan kasus Gayus Tambunan, saat itu juga muncul delapan terduga teroris di Klaten dan Sukoharjo, Selasa (25/1/2011). Padahal kala itu, masyarakat sedang panas-panasnya memperhatikan kasus plesir Gayus ke Bali dan kasus rekening gendut perwira Polri.

Nah, sekarang, ketika mantan bendahara Partai Demokrat (PD) yang ditengarai sebagai kunci segala informasi kasus korupsi (yang jika prosesnya berjalan jujur dan baik) akan menyeret nama-nama orang penting di Negeri ini, lalu muncullah Umar Patek.

Meski bukan pengamat, bukan peneliti, sungguh tak masuk akal pemerintah (yang selama ini berkiblat pada Amerika) tidak tau-menahu keberadaan Umar Patek atau Hambali. Lha, dulu Umar Faruq saja sudah menunjukkan, betapa dekatnya pemerintah dengan Amerika.

Jadi mustahil keberadaan Umar Patek tidak tahu. Apalagi, dengan uang kita, dan pajak-pajak kita, aparat bisa menggunakan berbagai cara untuk melacak hal-hal seperti itu.

Masalahnya, kok ya Umar Patek berbarengan dengan datangnya si Nazaruddin? Apa saya-nya saja yang bego karena berpikiran seperti ini?

Dan nanti, ujung-ujungnya, kasus Nazaruddin akan berakhir seperti kasus Rekening Gendut Polri, Bank Century atau kasus-kasus besar lain. Baru setelah itu akan ramai lagi dengan kasus baru lebih heboh. Lalu, kasus itu akan hilang lagi seiring ditangkapnya “teroris” lagi. Tau ah, gelap!. Paling-paling media juga akan jadi jubir aparat juga. ( hidayatullah.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar