Gereja dan Pandangan Dunia Yang Punah - Jemaat makin tak terlihat di negeri kelahiran Paus Benediktus XVI yang mengundurkan diri.
Peribadatan lengang. Gereja-gereja jadi gedung menganggur yang harus dibongkar. Majalah Der Spiegel 14 Februari yang lalu mencatat: di Jerman, selain di wilayah Protestan, juga di Bavaria yang Katolik, misa tak ramai lagi.
Di BÃrssum, di Niedersachsen, cuma 5% penduduk yang datang ke misa di Gereja Santo Bernward tiap Minggu (sementara biaya perawatan mencapai 134.500). Kesimpulan: gereja yang hanya makan ongkos itu harus dirobohkan. Lain lagi biara St. Maximin di Trier: jadi tempat olahraga sekolah. Herz-Jesu-Kirche di Kaltenberg: tempat latihan dansa dan pilates. Di Essen, ada 83 rumah peribadatan Katolik yang harus diratakan dengan tanah.
Pastor Michael Kemper ingat ia memimpin misa Corpus Christi terakhir di Duisburg. Dengan sayu ia mengenang bagaimana dulu ia berjalan di bawah kanopi altar, dengan jubahnya yang berwarna pucat, melewati barisan umat yang makin muram. "Menutup gereja ini membuat saya sakit," ia berkata.
Tapi barangkali telah tiba suatu tanda, bukan tentang akhir zaman, melainkan tentang satu "pandangan dunia yang punah, sebuah kebudayaan yang melenyap", untuk meminjam kata-kata Octavio Paz. Penyair ini berbicara tentang satu bagian sejarah Meksiko, negerinya, dan bukan tentang nasib Gereja Katolik—tapi di sana juga, gereja itu kini terasa jadi satu visión del mundo yang sedang kehilangan daya hidup.
Roberto Blancarte, seorang sosiolog dan sejarawan, (dikutip Latin American Herald Tribune 15 Februari) mencatat bahwa lebih dari 1.000 orang di Meksiko meninggalkan Gereja tiap hari selama dasawarsa terakhir.
Tentu, di tempat lain, di Asia misalnya, Gereja Katolik masih kukuh dan penuh. Tapi tahun ini di mana-mana seakan-akan ditandai seorang Paus yang tua dan kelelahan hingga mengundurkan diri. Di abad macam ini, seberapa kuatkah Gereja sebenarnya? "Paus, berapa batalion dia punya?"
Pada 1944, itu pertanyaan Stalin, seorang komunis yang menganggap agama hanya takhayul. Agaknya ia hendak mencemooh, atau ia heran, bahwa negara-negara pemenang Perang Dunia II macam Inggris sangat memperhitungkan sikap sebuah negeri seluas 44 hektare yang cuma didiami 800 manusia yang tak punya tentara: Vatikan.
Dengan kata lain, Stalin mungkin tak paham makna "ikonik" kota kecil Italia itu. Sang pemimpin Kremlin hidup di masa ketika bedil dan batalion pasukan—yang begitu fisik dan begitu langsung efektif—menentukan kekuasaan.
Tapi bukan salah dia agaknya. Sejarah posisi Paus adalah sejarah yang rumit tentang silih-bergantinya yang fisik dengan yang "ikonik".
Pada mulanya adalah sebuah ketegangan. Yesus berpesan bahwa para murid adalah sesama saudara. Jangan memanggil siapa pun "Rabi" atau "Bapa", katanya, karena "hanya satu Bapamu, yaitu Bapa yang di Surga". Tapi selama tiga abad pertama Masehi, ada sekitar seratus aliran kepercayaan Kristen—dan pelan-pelan diperlukan "bapa" yang mengelola perbedaan.
Perbedaan itu makin kompleks terutama setelah Paulus menyatakan bahwa hukum Taurat tak memadai. Baginya, ajaran Yesus ”yang berakar pada Yudaisme ”terbuka meliputi Yahudi maupun Yunani, budak maupun tuan, pria ataupun wanita.
Universalitas yang dikumandangkan Paulus (di zaman ini ditirukan bahkan oleh seorang atheis seperti Alain Badiou) menggugah. Tapi keanekaragaman yang tercakup bisa membingungkan. Tak jarang aliran yang satu mengutuk aliran yang lain—satu hal yang juga terjadi dalam agama lain, Islam ataupun Buddhisme. Apalagi di masa itu belum ada pusat yang menentukan. Menurut Will Durant dalam The Story of Civilization, yang disebut papa (kemudian jadi pope, "paus") adalah tiap uskup di sebuah wilayah. Belum ada yang berkuasa atas yang lain.
Tapi berangsur-angsur, ada kebutuhan rupanya. Berangsur-angsur, uskup dari Roma didengar dan dipandang. Roma punya makna "ikonik" sebelum fisik. Di sanalah Rasul Petrus dulu membangun gereja. Memang tak serta-merta makna "ikonik" itu efektif. Pada 218, ketika Callistus ditunjuk jadi pemimpin Gereja Roma, perpecahan terjadi.
Tapi sejarah berpihak kepadanya. Roma, di mana bangunan politik yang kukuh beberapa abad berdiri, mengajarkan kepada Gereja gabungan antara yang "ikonik" dan kekuatan fisik: organisasi. Ketika penguasa politik Romawi merosot peran dan wibawanya, Gereja Roma mengambil alih perannya.
Salah satu momen yang menentukan di abad ke-8, ketika Roma terancam serangan dari Lombardia dan Charlemagne, raja bangsa Franka, menyelamatkannya. Di malam Natal 800, sang raja mendapat imbalan: berkah Tuhan. Ia berlutut di depan Paus Leo III. Di atas kepalanya, uskup Roma itu memasang mahkota Imperium Eropa Barat.
Tradisi ini berlangsung sampai berabad-abad kemudian. Tapi gabungan yang "ikonik" dan yang fisik mencapai puncaknya ketika sebuah dokumen palsu dibuat: di situ dicantumkan bahwa kepada Paus dihibahkan otoritas, kekayaan, dan wilayah kemaharajaan Roma oleh Raja Konstantin. Bahwa dokumen palsu tentang hibah itu dibuat di abad ke-8, sekian abad setelah Konstantin mangkat, menunjukkan: kekuasaan fisik memerlukan sesuatu yang lain—pengesahan dari masa lalu yang gemilang.
Kekuasaan fisik itu kemudian menciut ketika abad ke-20 yang nasionalistis datang. Yang tinggal, dan dicoba dikukuhkan, adalah makna "ikonik".
Makna ini dibentuk mithos dan ingatan orang ramai tentang mithos itu. Tapi ia juga dikekalkan oleh panggilan yang di awal sejarah agama Kristen sangat kuat: panggilan keadilan dan kebebasan. Ketika panggilan itu mengalami distorsi, di abad ke-21 tak banyak gembala yang datang lagi. ( tempo.co )
Blog : Rantau Pincono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar