Islam Di Eropa Maju Pesat. Menjelajahi tiga negara Eropa: Belanda, Jerman, dan Belgia, kita dengan mudah menemui para wanita berjilbab, baik tua maupun remaja. Mereka berbusana Muslimah saat berada di jalan, kendaraan, pasar, dan pusatpusat keramaian.
Imigran asal Turki, misalnya, kalau di negaranya yang sekuler kerap menghadapi kendala saat mengenakan jilbab, tidak demikian di ketiga negara Eropa Barat itu. Selain warga Turki, Muslimah asal Maroko, Afrika Utara, yang tinggal di Eropa juga tak lepas dari jilbab. Imigran asal kedua negara Muslim itu mendominasi umat Islam di Belanda, Jerman, dan Belgia.
Ketika mengunjungi Masjid Al-Aksa di Den Haag, Republika menemui sekitar dua puluhan pemuda dan pelajar Belanda yang sedang belajar Islam. Recep Canir seorang voorzitter atau pengurus masjid itu dengan cekatan menjawab setiap pertanyaan yang diajukan para pemuda.
Kepada Republika yang menunggunya sekitar satu jam, pria berusia 50 tahun itu dengan bangga mengungkapkan, Masjid Al-Aksa telah berfungsi sejak 27 Juli 1979. Menurut dia, awalnya masjid itu adalah sebuah sinagog ¡ยช tempat peribadatan Yahudi. Masyarakat imigran Turki sepakat memberi nama masjid itu Al-Aksa, diambil dari tempat suci pertama umat Islam.
Di Kota Den Haag, pusat administrasi Pemerintahan Belanda, terdapat tak kurang dari 25 masjid. Masjid atau mushala itu ada yang berasal dari gereja, pertokoan, atau gedung tua.
Bukan hanya para imigran Turki dan Maroko yang banyak membangun tempat peribadatan, juga kaum Muslimin yang berasal dari Suriname (sebagian etnis Jawa yang dikirim pemerintah kolonial ke daerah di Amerika Latin itu pada abad ke-19), maupun warga Suriname yang berasal dari etnis India.
Di seantero negeri kincir angin itu, terdapat sekitar 600 sampai 700 masjid, dengan jumlah umat Islam lebih dari 1,5 juta jiwa. Republika sempat menyusuri kota kecil Leiden, yang berpenduduk 125 ribu jiwa. Di kota itu, terdapat tiga buah masjid, dua masjid dibangun imigran Maroko dan sebuah masjid didirikan imigran Turki.
Islam kian berkembang di Eropa. Perlahan namun pasti masyarakat Eropa mulai tertarik memeluk Islam. Paul (61), seorang mualaf Belanda yang setelah Islam mengubah namanya menjadi Ahmad Fauzi Nobel, mengaku telah belasan tahun memeluk Islam. Kepada Republika, dia mengemukakan semakin mantap dengan Islam yang disebutkan sebagai agama rahmatan lilalamin.
Ia menolak dengan tegas pendapat sementara pihak di Barat yang menyebut Islam sebagai agama teroris dan kekerasan. Menurut dia, sebetulnya banyak warga Belanda yang kini memeluk Islam. Tapi, mereka masih merahasiakan identitasnya,tutur Paul.
Hal itu dibenarkan Lusi Sihabuddin yang sejak 1990-an tinggal di Belanda. Wanita dua anak itu menetap di Rotterdam. Menurutnya, di Rotterdam, terdapat lima buah masjid, dua masjid Maroko, dan tiga masjid Turki. Lusi kini tengah mengumpulkan dana untuk membangun sebuah masjid Indonesia bersama dengan masyarakat Suriname.
Fenomena serupa juga terjadi di Jerman. Dr Fuad Jindan (38) menuturkan, imigran Turki mulai banyak berdatangan ke Jerman, ketika negara itu hancur akibat Perang Dunia II. Mereka bekerja membangun gedung, bangunan, dan jalan kereta api. Sebagai tanda terima kasih, para imigran asal Turki itu diperbolehkan untuk mendatangkan istrinya.
Seperti halnya di Belanda dan Belgia, berbusana Muslimah tak jadi masalah di Jerman. Menurut Fuad, jumlah umat Muslim di negeri panser itu berkembang pesat. Pada 2008 saja, sekitar 2.000 warga Jerman telah memeluk Islam. Tak heran jika jumlah orang Jerman yang ingin menunaikan ibadah haji pun terus bertambah.
Umat Muslim yang ingin menunaikan ibadah haji difasilitasi oleh Yayasan Pengiriman Haji yang dipimpin Wolf Garing Muhammad Sidik. Pria kelahiran Jerman itu merupakan alumnus Universitas Madinah. Setiap tahun, ia memberangkatkan 400 Muslim untuk menunaikan rukun Islam kelima. Padahal, setiap tahunnya lebih dari 900 orang yang mendaftar haji.
Berkembangnya Islam di Eropa tentu saja mendapat tantangan keras, terutama dari kelompok Yahudi. Suratkabar Der Spiegel dan Focus tanpa mengenal ampun terus menjelekjelekkan Islam. Sementara Pemerintah Jerman, takut terhadap Yahudi kalau harus membayar uang duka terhadap pembantaian warga Yahudi oleh Hitler. Meski orang Jerman sendiri tidak percaya kalau peristiwa itu benar-benar terjadi. Masjid juga tersebar di berbagai kota di Jerman, seperti Koln, Berlin, dan Munchen. Seperti halnya di Belanda dan Belgia, mereka membeli gedung-gedung dan perumahan untuk dijadikan sebagai tempat ibadah.[ alwi shahab ]
Imigran asal Turki, misalnya, kalau di negaranya yang sekuler kerap menghadapi kendala saat mengenakan jilbab, tidak demikian di ketiga negara Eropa Barat itu. Selain warga Turki, Muslimah asal Maroko, Afrika Utara, yang tinggal di Eropa juga tak lepas dari jilbab. Imigran asal kedua negara Muslim itu mendominasi umat Islam di Belanda, Jerman, dan Belgia.
Ketika mengunjungi Masjid Al-Aksa di Den Haag, Republika menemui sekitar dua puluhan pemuda dan pelajar Belanda yang sedang belajar Islam. Recep Canir seorang voorzitter atau pengurus masjid itu dengan cekatan menjawab setiap pertanyaan yang diajukan para pemuda.
Kepada Republika yang menunggunya sekitar satu jam, pria berusia 50 tahun itu dengan bangga mengungkapkan, Masjid Al-Aksa telah berfungsi sejak 27 Juli 1979. Menurut dia, awalnya masjid itu adalah sebuah sinagog ¡ยช tempat peribadatan Yahudi. Masyarakat imigran Turki sepakat memberi nama masjid itu Al-Aksa, diambil dari tempat suci pertama umat Islam.
Di Kota Den Haag, pusat administrasi Pemerintahan Belanda, terdapat tak kurang dari 25 masjid. Masjid atau mushala itu ada yang berasal dari gereja, pertokoan, atau gedung tua.
Bukan hanya para imigran Turki dan Maroko yang banyak membangun tempat peribadatan, juga kaum Muslimin yang berasal dari Suriname (sebagian etnis Jawa yang dikirim pemerintah kolonial ke daerah di Amerika Latin itu pada abad ke-19), maupun warga Suriname yang berasal dari etnis India.
Di seantero negeri kincir angin itu, terdapat sekitar 600 sampai 700 masjid, dengan jumlah umat Islam lebih dari 1,5 juta jiwa. Republika sempat menyusuri kota kecil Leiden, yang berpenduduk 125 ribu jiwa. Di kota itu, terdapat tiga buah masjid, dua masjid dibangun imigran Maroko dan sebuah masjid didirikan imigran Turki.
Islam kian berkembang di Eropa. Perlahan namun pasti masyarakat Eropa mulai tertarik memeluk Islam. Paul (61), seorang mualaf Belanda yang setelah Islam mengubah namanya menjadi Ahmad Fauzi Nobel, mengaku telah belasan tahun memeluk Islam. Kepada Republika, dia mengemukakan semakin mantap dengan Islam yang disebutkan sebagai agama rahmatan lilalamin.
Ia menolak dengan tegas pendapat sementara pihak di Barat yang menyebut Islam sebagai agama teroris dan kekerasan. Menurut dia, sebetulnya banyak warga Belanda yang kini memeluk Islam. Tapi, mereka masih merahasiakan identitasnya,tutur Paul.
Hal itu dibenarkan Lusi Sihabuddin yang sejak 1990-an tinggal di Belanda. Wanita dua anak itu menetap di Rotterdam. Menurutnya, di Rotterdam, terdapat lima buah masjid, dua masjid Maroko, dan tiga masjid Turki. Lusi kini tengah mengumpulkan dana untuk membangun sebuah masjid Indonesia bersama dengan masyarakat Suriname.
Fenomena serupa juga terjadi di Jerman. Dr Fuad Jindan (38) menuturkan, imigran Turki mulai banyak berdatangan ke Jerman, ketika negara itu hancur akibat Perang Dunia II. Mereka bekerja membangun gedung, bangunan, dan jalan kereta api. Sebagai tanda terima kasih, para imigran asal Turki itu diperbolehkan untuk mendatangkan istrinya.
Seperti halnya di Belanda dan Belgia, berbusana Muslimah tak jadi masalah di Jerman. Menurut Fuad, jumlah umat Muslim di negeri panser itu berkembang pesat. Pada 2008 saja, sekitar 2.000 warga Jerman telah memeluk Islam. Tak heran jika jumlah orang Jerman yang ingin menunaikan ibadah haji pun terus bertambah.
Umat Muslim yang ingin menunaikan ibadah haji difasilitasi oleh Yayasan Pengiriman Haji yang dipimpin Wolf Garing Muhammad Sidik. Pria kelahiran Jerman itu merupakan alumnus Universitas Madinah. Setiap tahun, ia memberangkatkan 400 Muslim untuk menunaikan rukun Islam kelima. Padahal, setiap tahunnya lebih dari 900 orang yang mendaftar haji.
Berkembangnya Islam di Eropa tentu saja mendapat tantangan keras, terutama dari kelompok Yahudi. Suratkabar Der Spiegel dan Focus tanpa mengenal ampun terus menjelekjelekkan Islam. Sementara Pemerintah Jerman, takut terhadap Yahudi kalau harus membayar uang duka terhadap pembantaian warga Yahudi oleh Hitler. Meski orang Jerman sendiri tidak percaya kalau peristiwa itu benar-benar terjadi. Masjid juga tersebar di berbagai kota di Jerman, seperti Koln, Berlin, dan Munchen. Seperti halnya di Belanda dan Belgia, mereka membeli gedung-gedung dan perumahan untuk dijadikan sebagai tempat ibadah.[ alwi shahab ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar