Inkuisisi, Penghukuman Sadis Ala Gereja

Inkuisisi, Penghukuman Sadis Ala Gereja. Ada tiga siksaan utama pada inkuisisi: garrucha, toca, dan potro. Tertuduh dikerek ke langit-langit ruangan, diikat dengan pemberat besi atau diangkat ke atas dan dijatuhkan

Beberapa waktu yang lalu kita dihebohkan dengan berita tentang seorang pendeta di Manado, Herman Kemala, yang melakukan kekerasan terhadap jemaat gerejanya. Video yang diputar di media-media elektronik memperlihatkan betapa si pendeta begitu ringannya mengayunkan tangan dan menampar pipi beberapa orang yang menghadiri khotbahnya. Kabarnya ia memang cenderung emosional dan mudah marah hanya karena persoalan-persoalan yang sepele.

Kekerasan yang dilakukan pendeta tersebut tentu saja bukan merupakan sikap umum para pemimpin gereja pada masa sekarang ini. Hanya saja, pada kurun waktu tertentu gereja (Katholik) pernah menerapkan praktik kekerasan dan penyiksaan di luar apa yang bisa dibayangkan masyarakat modern sekarang ini. Gereja pernah membentuk sebuah lembaga yang memiliki otoritas untuk menyiksa dan menghukum mati orang-orang yang dianggap menyimpang (heretics). Kekejamannya serta korban yang berjatuhan, benar-benar membuat kita bergidik. Institusi ini dikenal dengan nama inkuisisi (inquisition).

Inkuisisi adalah sebuah lembaga gerejawi (ecclesiastical institution), sekaligus lembaga kehakiman gereja Katholik (Roman Catholic tribunal) yang bertujuan untuk menyelidiki dan menghukum penyimpangan teologi Kristen (heresy, bid’ah). Lembaga ini dibentuk langsung oleh lembaga kepausan (papal), terutama setelah dikeluarkannya Excommunicamus oleh Paus Gregory IX pada tahun 1231. Dewan inkuisisi ketika itu dibentuk untuk membersihkan Kekristenan dari bahaya penyimpangan kaum Cathar dan Albigensian. Sejak itu, dewan yang didominasi ordo Dominikan dan Fransiskan ini menjadi suatu alat yang ampuh untuk menghancurkan aliran-aliran teologi yang berseberangan dengan gereja Katholik.

Aktivitas dewan inkuisisi meliputi pembentukan dewan yang permanen ataupun temporal pada wilayah tertentu yang dicurigai terdapat kaum bid’ah. Orang-orang yang dituduh menyimpang ini kemudian diminta, atau dipaksa hadir menghadap dewan. Dua orang saksi saja sudah cukup untuk menjatuhkan vonis bersalah terhadap si tertuduh. Bagaimanapun, si tertuduh akan menjalani proses interogasi, yang sejak tahun 1252 melibatkan metode penyiksaan (torture), hingga mereka mengakui kesalahan mereka atau dibebaskan karena tak terbukti bersalah. Pelaku bid’ah yang serius akan menerima vonis mati dengan dibakar hidup-hidup (auto da fe) di depan umum.

Inkuisisi berkembang di negara-negara yang menganut Katholik. Namun tidak ada yang lebih bersemangat dalam menerapkan inkuisisi ketimbang Spanyol. Spanyol memiliki tempat yang sangat spesial dalam sejarah inkuisisi.

Reconquista Spanyol dan Inkuisisi

Kaum Muslimin telah masuk ke Spanyol (Andalusia) dan memajukan negeri itu sejak awal abad ke-8 masehi. Sejak itu, wilayah tersebut berkembang menjadi peradaban yang sangat maju di dunia. Kendati demikian, kalangan Kristen yang berhasil eksis di Utara Spanyol bertekad untuk merebut kembali negeri mereka dari tangan kaum Muslimin. Mereka membalas futuhat (pembukaan wilayah) kaum Muslimin dengan reconquista, proses penaklukkan kembali. Para penguasa Muslim yang kini terlena dengan kemegahan menjadi lemah dan tak berdaya menghadapi ancaman lawan. Akibatnya, satu demi satu wilayah Muslim berhasil direbut kembali. Kekuatan Kristen di Utara terus mendesak kaum Muslimin semakin jauh ke Selatan.

Ketika kaum Muslimin semakin jauh dari Islamnya dan berpecah-belah, musuh-musuh mereka justru merapatkan barisan dan terbakar oleh semangat Kristiani. Dampaknya sudah bisa diduga, lonceng kematian kaum Muslimin di Andalusia tinggal menunggu waktu untuk berdentang. Setelah Toledo, Cordova, dan berbagai kota lainnya jatuh ke tangan musuh, kini tinggal secuil Granada di ujung Selatan Iberia yang masih mampu bertahan hingga di penghujung abad ke-15. Isyarat kehancuran benar-benar menjadi kuat ketika Aragon dan Castile, dua kerajaan Kristen yang besar di Utara bergabung melalui pernikahan raja dan ratunya, Ferdinand dan Isabella, pada tahun 1469. Kerajaan gabungan ini dikenal sebagai Los Reyes Catolicos (the Catholic Monarchs).

Lembaga inkuisisi sendiri mulai diperkenalkan di Spanyol pada tahun 1478. Ketika itu Alonso de Hojeda, seorang pendeta Dominican, berhasil meyakinkan Ratu Isabella bahwa di wilayah kekuasaannya ada sebagian conversos (orang-orang yang pindah agama) dari kalangan Yahudi yang diam-diam tetap memelihara keyakinan dan tradisi Yahudi mereka. Mereka ini belakangan dikenal sebagai crypto-jews atau marranos.

Dewan inkuisisi kemudian dibentuk secara terbatas di Seville dan Cordova. Dan sebagai hasilnya, enam orang pelaku bid’ah dibakar hidup-hidup di Seville pada awal tahun 1981. Sejak itu, dewan-dewan inkuisisi semakin hidup dan berkembang di wilayah-wilayah Castile, walaupun masih harus menunggu beberapa tahun sebelum diterapkan juga di wilayah Aragon.

Kerajaan Aragon-Castile akhirnya memutuskan untuk merebut Granada, wilayah Muslim terakhir di Andalusia. Negeri yang sudah terlalu lama larut dalam kemewahan ini tak mampu bertahan, malah pemimpinnya memilih untuk menyerah tanpa perlawanan berarti. Bersamaan dengan bermulanya tahun baru masehi 1492, Boabdil, Sultan terakhir Granada, menyerahkan kunci kota itu kepada penguasa Kristen. Saat menjauhi istananya, Boabdil menangis. Tentang ini ibunya berkomentar, “Kamu menangis seperti perempuan untuk sesuatu yang tak pernah kamu pertahankan selaiknya laki-laki!”

Granada menyerah dengan syarat penduduknya tetap diizinkan menjalankan keyakinan dan agama mereka. Ferdinand dan Isabella menyetujuinya, tapi atas pengaruh gereja mereka segera mengingkarinya tak lama setelah menguasai negeri itu. Orang-orang Yahudi kemudian diusir keluar dari Spanyol. Kaum Muslimin dipaksa masuk Kristen, atau terpaksa hijrah keluar dari Spanyol. Mereka memberontak, tapi pada akhirnya dikalahkan. Banyak dari orang-orang Islam ini akhirnya setuju untuk dibaptis. Hanya saja mereka tetap mempertahankan tradisi Arab-Muslim mereka, dan sebagian lainnya tetap menjalankan ajaran Islam secara sembunyi-sembunyi. Orang-orang ini dikenal sebagai Moriscos, kaum yang mirip orang-orang Islam (Moor-like). Mereka inilah yang kemudian menjadi sasaran utama dewan inkuisisi Spanyol.

Kaum Moriscos terus mendapat tekanan dan siksaan. Mereka kembali memberontak, namun pada akhirnya tetap kalah. Pada tahun 1609 mereka dipaksa keluar secara masif dari Spanyol. Jumlah mereka mencapai 300.000 orang. Sejak saat itu, sejarah Moriscos di Spanyol boleh dikatakan sudah habis. Bagaimanapun, inkuisisi masih terus berjalan hingga abad 19, bahkan abad 20, dengan orang-orang Kristen sendiri sebagai korbannya.

Kekejaman Inkuisisi

Proses interogasi dan eksekusi hukuman pada inkuisisi sangat berbeda dengan proses pada pengadilan modern. Penyiksaan pada inkusisi memang diizinkan dengan tujuan mendapatkan kebenaran dari si tertuduh. Masalahnya, dengan penyiksaan semacam itu orang yang mengaku tentunya bukan hanya mereka yang benar-benar ’bersalah,’ tapi juga mereka yang tidak tahan menghadapi siksaan. Siksaan dan hukuman pada inkuisisi memang tidak ditujukan untuk kebaikan si tertuduh, tapi demi membuat takut masyarakat umum dan mencegah mereka dari kejahatan.

Ini jelas berbeda dengan konsep qishah di dalam Islam, setidaknya dalam tiga hal mendasar.

Pertama, inkuisisi secara aktif mencari dan menghukum pelaku penyimpangan, bahkan seringkali cenderung ’mencari-cari’ kesalahan. Sementara jika kita mengacu pada qishah yang diterapkan Nabi saw, beliau tidak mau mencari-cari kesalahan orang, bahkan cenderung enggan untuk langsung menghukum ketika ada yang mengakui kesalahannya (seperti pada kasus pezina yang datang pada Nabi dan melaporkan kesalahan dirinya).

Kedua, pada Islam tidak ada proses penyiksaan untuk memaksa tertuduh mengaku.

Ketiga, menurut Islam ketika seorang terbukti bersalah dan dihukum di depan umum, maka kebaikannya bukan hanya bagi masyarakat umum, tapi juga bagi si tersalah, karena itu merupakan bentuk taubatnya dan akan menghindarkannya dari hukuman di akhirat.

Menurut Henry Kamen dalam bukunya Spanish Inquisition (diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Para Algojo Tuhan), penyiksaan dalam proses inkuisisi tidak seserius yang dituduhkan pihak-pihak yang memusuhi inkuisisi dan tidak sekejam penyiksaan pada pengadilan sekuler abad pertengahan.

Setidaknya ada tiga bentuk siksaan utama pada inkuisisi: garrucha, toca, dan potro.

Garrucha berarti kerekan yang diikatkan ke pinggang tertuduh yang mengangkatnya ke langit-langit ruangan. Kaki tertuduh diikat dengan pemberat besi. Korban diangkat ke atas dan dijatuhkan ke bawah secara mengejutkan dan berulang-ulang. Hal ini bisa menyebabkan otot tangan dan kaki putus.

Toca adalah kain linen yang dimasukkan ke mulut tertuduh secara paksa. Kemudian air dituangkan secara pelahan-lahan ke dalam perut tertuduh melalui kain linen tersebut hingga ia merasa tersiksa karenanya.

Potro adalah bentuk siksaan di mana tubuh tertuduh diikat kuat-kuat ke sebuah tiang. Kemudian para algojo menarik tali yang melilit tubuh korban dari arah berlawanan secara bertahap hingga tali-tali itu menembus daging. Pada semua bentuk penyiksaan ini, para tertuduh, baik laki-laki maupun perempuan, selalu ditelanjangi.

Betapapun pembelaan yang diberikan atas inkuisisi Spanyol, proses yang berlangsung di dalamnya tetap saja tidak berperikemanusiaan. Proses pada lembaga ini bersifat tertutup (hanya hukuman akhirnya yang dipertontonkan secara terbuka), saksi-saksinya dirahasiakan, dan pengacara yang membela pun dari pihak yang ditetapkan oleh pihak inkuisisi. Semua itu sangat memberatkan dan menyulitkan pihak yang dituduh bersalah.

Seorang tertuduh biasanya ditangkap dan dipenjara selama berminggu-minggu tanpa diberitahu apa sebabnya ia ditangkap. Ia dibiarkan menduga sendiri kesalahannya dan mengaku secara sukarela. Setelah dibiarkan dalam kondisi bingung seperti itu, barulah kepadanya disodorkan tuduhan-tuduhan dan ia diinterogasi untuk mengaku (biasanya disertai siksaan).

Tidak seperti pengadilan modern di mana tertuduh dianggap tidak bersalah sampai ia dibuktikan bersalah di sebuah pengadilan yang terbuka, pada inkuisisi seorang tertuduh dianggap bersalah dan ia mesti membuktikan kalau dirinya tidak bersalah pada suatu pengadilan tertutup tanpa pembelaan yang memadai. Adanya siksaan membuat para tertuduh ini menjadi lebih sulit lagi untuk mempertahankan diri.

Inkuisisi Spanyol berlangsung selama empat abad lebih dan menelan banyak korban. Keinginan gereja dan masyarakat Katholik di sana untuk memurnikan darah (limpieza de sangre) masyarakatnya telah menyebabkan wajah peradabannya yang dulunya toleran dan damai menjadi berdarah-darah. Semoga hal semacam ini tidak pernah terulang lagi dalam sejarah kita. [ hidayatullah.com]



My be this artikel's that you need...!!!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar