Berikut ini terjemahan pidato Paus Bendictus yang aslinya dalam bahasa Jerman oleh Romo Mardi BS.
KULIAH PAUS BENEDICTUS XVI:
“Iman, Akal Budi dan Universitas”
Bagiku merupakan saat mengharukan, bahwa saya berdiri lagi di mimbar Universitas ini dan sekali lagi boleh memberikan kuliah. Dalam pada itu pikiranku kembali ke tahun-tahun, ketika saya menerima tugas sebagai guru akademis di Universitas Bonn setelah suatu kurun waktu indah di Sekolah Tinggi Freising. Waktu itu ? 1959 ? masih jaman tata Universitas lama. Untuk setiap mata kuliah tidak ada asisten atau sekretaris: tetapi untungnya malah ada perjumpaan yang amat langsung dengan mahasiswa dan terutama juga antara para Profesor satu sama lain. Di ruang dosen kami dapat ketemu sebelum atau sesudah kuliah. Kontak antara ahli sejarah, filsuf, filolog dan tentu saja juga antara para teolog dari kedua fakultas teologi (Protestan dan Katolik) sangat akrab.
Tiap semester ada Hari Akademi: pada saat itu Profesor dari semua fakultas memperkenalkan diri kepada para mahasiswa seluruh Universitas dan dengan demikian menjadi mungkinlah untuk mengalami Universitas benar-benar. Bahwa kami (dengan semua spesialisasinya kadang kala membuat kami tidak dapat bicara satu sama lain), toh merupakan satu kesatuan dan semuanya bekerja dengan satu akal budi dengan aneka dimensinya serta sama-sama mengalami pertanggungjawaban penggunaan akal budi secara benar.
Universitas juga bangga dengan kedua fakultas teologinya (Protestan dan Katolik). Jelas, bahwa kedua fakultas itu, dengan mengajukan pertanyaan rasional kepada iman, yang perlu agar menjadi bagian dari seluruh ‘Universitas scientiarum’, pun kalau imannya tidak dapat sama, mendorong para teolog untuk sama-sama menggunakan akal budi. Kesatuan batin dalam dunia akal budi itu tidak juga terganggu, tatkala pernah terdengar, katanya ada kolega dosen yang berucap: di Universitas kita katanya ada hal aneh, yaitu bahwa ada 2 fakultas yang mempelajari ’sesuatu yang tidak ada’ (yaitu Allah). Bahwa di tengah sikap skepsis seperti ini tetap perlu dan rasional saja, mengajukan pertanyaan secara rasional tentang Allah dan melakukannya dalam kaitan dengan Tradisi iman katolik, tidaklah dipermasalahkan di seluruh Universitas. Semua itu muncul dalam kesadaranku lagi, ketika belum lama ini saya membaca bagian dialog yang diterbitkan oleh Prof Th. Khoury (Muenster): di situ: dialognya dari tahun 1391 di suatu barak musim dingin dekat Ankara antara Kaisar terpelajar Manuel II Palaeologos dengan sang bijak dari Persia mengenai agama kristiani dan Islam dan mengupas soal kebenaran keduanya. Kaisar mungkin menuliskan dialog itu saat pengepungan Konstantinopel antara 1394 dan 1402 (maka ia menguraikan pendiriannya sendiri jauh lebih rinci daripada jawab sang ahli dari Persia.) Dialog itu mencakup seluruh jaringan iman dalam Alkitab dan Al Qur’an serta terutama berkisar tentang citra Allah dan gambaran manusia, tetapi juga tentu saja lagi dan lagi mengenai hubungan antara ketiga Kitab Hukum Perjanjian Lama, Perjanjian Baru dan Al Qur’an.
Dalam kuliah ini saya hanya akan menyebut satu butir (yang juga tidak merupakan inti dialog itu): satu butir yang menarik perhatian saya dalam kaitan dengan tema “Iman dan Akal Budi” dan dapat bermanfaat untuk menjadi pangkal pemikiran saya. Dalam buku yang diterbitkan Prof Khoury itu pada lingkaran diskusi yang ketujuh, Kaisar sampai pada tema Jihad (Perang Suci). Kaisar pasti tahu, bahwa dalam Surah 2, 256 dikatakan mengenai tiadanya paksaan untuk urusan iman ? itu satu di antara Surah-surah pertama dari masa, ketika Muhammad sendiri dalam kondisi lemah dan terancam. Kaisar tentu tahu juga akan yang tertulis dalam Al Qur’an ? kelak tersusunnya ? ketentuan mengenai Perang Suci. Tanpa mau masuk ke dalam rinci-rincian, bagaimana hubungan antara umat Ahli Kitab dan Orang Tak Beriman, Kaisar secara mengherankan memakai cara langsung ke dalam pertanyaan utama tentang hubungan antara agama dan kekuasaan kepada rekan bicaranya. *Ia berkata “Tunjukkanlah, apa yang dibawa Muhammad dan Anda hanya akan menemukan yang buruk dan tidak manusiawi, seperti bahwa ia memerintahkan agar iman yang diwartakannya disebarluaskan dengan pedang. Hal itu bertentangan dengan kodrat Allah dan kodrat jiwa”.
“Allah tidak mencintai darah dan tidak bertindak rasional itu bertentangan dengan hakikat Allah. Iman itu buah jiwa, bukan dari tubuh. Maka siapa yang menyuruh orang untuk beriman, perlu menggunakan argumentasi yang baik dan cara berpikir yang benar, bukan kekuatan dan ancaman …Untuk meyakinkan seseorang yang rasional, perlulah orang bukan tangan atau alat kekerasan atau sesuatu alat,yang dapat mengancamkan kematian”.*
*Kalimat yang menentukan dalam argumentasi terhadap pentobatan dengan kekerasan berbunyi: “bertindak tidak secara rasional, itu bertentangan dengan kodrat Allah”.*
Si penyunting (Th. Khoury) memberi komentar sbb: Bagi Kaisar itu (yang dibesarkan sebagai orang Byzantium dalam filsafat Yunani) kalimat itu sudah jelas. Sebaliknya bagi ajaran Islam, Allah itu mutlak transenden. KehendakNya tidak terikat pada kategori-kategori kita mana pun, termasuk rasionalitas. Untuk itu Khoury mengutip suatu karya dari Islamolog Perancis yang terkenal (R. Arnaldez), yang mengatakan, bahwa Ibn Hazn sampai menyatakan, bahwa Allah tidak dibatasi oleh SabdaNya sendiri dan tak ada yang mewajibkanNya untuk mewahyukan kebenaran. Bila ia menghendaki itu, mestinya bisa menyembah berhala.
Di sini terkuaklah perbedaan cara orang memahami Allah dan dengan demikian juga dalam secara konkret melaksanakan agama, yang sekarang merupakan tantangan langsung bagi kita. Hanya cara Yunanikah utk berpendapat bhw “bertindak tak rasional itu bertentangan dengan hakikat Allah”, ataukah itu berlaku selalu dan memang secara hakiki demikian? Saya pikir, di sini ada nada sama antara apa yang secara Yunani tepat dan apa yang tampak dalam Alkitab mendasari iman akan Allah.
Seraya mengubah ayat pertama Kitab Kejadian, Yohannes membukan Prolog Injilnya dengan kata: “Pada awal mula ada Sabda”. Itulah yang persis dipakai oleh Kaisar: Allah bertindak dengan Sabda. Sabda itu akal budi dan sekaligus kata ? suatu akal budi, yang kreatif dan dapat mengkomunikasikan diri tetapi memang secara rasional.
Dengan demikian Yohannes memberi kata penutup pada paham alkitabiah ttg Allah: di situ semua jalan yang sering sulit dan samar2 mengenai iman alkitabiah sampai di tujuan akhir dan menemukan sintesisnya. Pada awal mula ada Sabda, dan Sabda adalah Allah: begitulah kata Pengarang Injil. Ketemunya pesan Alkitab dengan pemikiran Yunani tidaklah kebetulan.
Visi St. Paulus, (yang tertutup jalannya ke Asia dan yang kemudian melihat wajah orang Macedonia dan mendengarnya memanggilnya utk datang dan menolong ? Kis 16: 6-10) ? visi itu dapat menjadi pengentalan perjumpaan batin antara iman alkitabiah dan pertanyaan hidup pola Yunani. Sementara itu, perjumpaan seperti itu sesungguhnya sudah lama berlangsung.
Nama Allah yang penuh misteri dari Semak Berduri yang terbakar, yang mengkhususkan Allah ini dari banyak nama dan menyebut sebagai Sang Ada adalah penolakan Mitos, sangat analog dengan cara jaman Socrates mengatasi dan melampaui mitos. Proses yang dimulai di Semak Berduri menjadi masak lagi dalam Perjanjian Lama sewaktu Pengungsian: di situ Allah Israel yang tanpa negeri dan tanpa bakti diwartakan sebagai Allah bumi-langit dan diperkenalkan dengan istilah sederhana ? meneruskan kata-di-Semak-Berduri yi “Akulah Yang Ada”.
Bersama dengan pengenalan baru Allah ini terjadilah suatu pencerahan ttg Dewa2 yang secara merendahkan disebut “buatan manusia” (bdk. Mzm 115).
Demikianlah, pada masa hellenistik, dalam ketegangan tajam kepada para penguasa Yunani, yang mau memaksakan cara hidup dan cara bakti hellenistik, iman alkitabiah bersentuhan dengan segi terbaik pemikiran Yunani dari dalam ? sebagaimana khususnya akan terwujud dalam Sastra Kebijaksanaan. Sekarang kita tahu, bahwa terjemahan Yunani Perjanjian Lama yang terwujud di Alexandria ? Septuaginta ? itu lebih daripada sekedar terjemahan teks Ibrani (pun kalau dinilai sedikit lebih positif): malah merupakan saksi sastra yang mandiri dan langkah penting tersendiri dari Sejarah Perwahyuan: di situ perjumpaan itu terlaksana dengan suatu cara, yang untuk berdirinya agama Kristiani dan persebarannya mempunyai arti yang menentukan. Pada lapisan terdalam terjadilah pertemuan antara iman dan akal budi, antara pencerahan dan religi. Manuel II telah dapat berkata sungguh dari kedalaman hakikat iman kristiani dan sekaligus dari hakikat budaya Yunaninya, yang menyatu dengan iman: bertindak “tidak bersama Logos” itu bertentangan dengan hakikat Allah.
Di sini, demi kejelasan perlu disebutkan bahwa pada akhir Abad Pertengahan berkembang kecenderungan2 dalam teologi, yang merombak sintesis antara Yang Yunani dan Yang Kristiani itu. Berhadapan dengan yang disebut intelektualisme Agustinus dan Tomas, mulailah Duns Scotus dengan Voluntarisme, yang kemudian sampai mengatakan, bahwa mengenai Allah kita hanya mengenal kehendakNya, voluntas ordinata.
Lebih jauh daripadanya, ada kehendak bebas Allah: karena kekuatan itu, Ia sesungguhnya dapat melakukan dan bertindak bertentangan dengan segala yang telah dilakukannya. Di situ terkuaklah pendirian-pendirian, yang dekat dengan Ibn Hazn dan dapat mengarah pada Serba-bebasnya Kehendak Allah, yang malah tidak terikat pada kebenaran dan kebaikan. Transendensi dan keberbedaan Allah sedemikian dilampaui, sehingga akal budi, prarasa kita akan kebenaran dan kebaikan bukan lagi citra sejati Allah, yang kemampuan dasarNya di balik segala keputusanNya yang nyata itu memang bagi kita tidak terjangkau dan akan tetap tersembunyi.
Terhadap hal itu, iman Gereja selalu berpegangan, bahwa antara Allah dengan kita, antara Roh PenciptaNya yang abadi dan akal budi kita yang tercipta sungguh ada analogi nyata: di situ ‘ketidak-miripan’ secara mutlak lebih besar dari pada kemiripan; namun di situ analogi dan bahasa tidak akan disingkirkan (bdk Lat IV).
Allah tidaklah menjadi lebih ilahi karena kita desak menuju pada Voluntarisme yang murni dan tak terbayangkan. Allah yang sungguh ilahi adalah Allah, yang menunjukkan diri sebagai Logos dan sebagai Logos dengan penuh kasih telah bertindak dan senantiasa bertindak sekarang. Tentu saja cintakasih “mengatasi ‘pemahaman’ dan karena itu lebih menangkap dari pada sekedar berpikir saja” (bdk Ef 3: 19). Namun cinta tetaplah kasih Logos Allah, asal dari ibadat kristiani ….. ? ibadat, yang sesuara dengan Sabda Abadi dan dengan akal budi kita (bdk Rom 12:1). Tindak saling mendekat yang disiratkan di sini, yaitu yang terjadi antara iman alkitabiah dan pertanyaan-pertanyaan filosofis Yunani, bukanlah hanya peristiwa yang menentukan dari sudut keagamaan saja, melainkan juga dari sejarah dunia. Bila kita menangkap perjumpaan ini, tidaklah mengherankan bahwa iman kristiani, memang bermula dan tumbuh di Timur namun toh ternyata memberi meterai yang menentukan secara historis di Eropa. Kita dapat juga mengatakan sebaliknya: perjumpaan itu, yang masih ditambah warisan romawi, telah menciptakan Eropa dan tetap menjadi dasar dari yang secara sebenarnya disebut Eropa.
Tesis, yang menyatakan bahwa warisan Yunani yang dimurnikan secara kritis itu merupakan bagian dari iman kristiani, sesungguhnya membawa tuntutan bahwa Yang Kristiani harus dibersihkan dari Yang Yunani: suatu gerakan yang sejak Jaman Baru mempengaruhi refleksi teologis. Bila diperhatikan lebih jauh lagi, dapatlah dicermati adanya 3 gelombang, yang memang berkaitan satu sama lain, tetapi toh jelas terbedakan dasar dan sasarannya.
Pembersihan dari sifat Yunani muncul pertama-tama dalam keprihatinan dasar Reformasi abad 16. Para Reformator melihat dari sudut filsafat, dalam tradisi sekolah2 teologis suatu sistematisasi iman tertentu: hal yang asing terhadap iman bertolak dari cara berpikir tertentu. Di situ iman tampil tidak lagi sebagai Sabda yang secara historis hidup, melainkan ditancapkan sebagai sistem filosofis. Sebaliknya ‘Sola scriptura’ mencari wujud perdana iman, sebagaimana Sabda alkitabiah pada awalnya. Metafisik tampil sebagai masukan dari luar: orang beriman harus membebaskan diri darinya agar dapat menjadi dirinya lagi. Dengan cara yang bagi kaum Reformator tidak terbayangkan radikalnya, Kant telah melangkah jauh dengan mengatakan bahwa ia harus menyingkirkan pikiran, agar dapat memberi tempat kepada iman. Akhirnya ia menempatkan akar iman pada akal budi praktis dan tidak mengaitkannya dengan keseluruhan kenyataan.
Teologi Liberal abad 19-20 membawa gelombang baru dalam program pembersihan sifat2 keyunanian. Bagi mereka, Adolf von Harnack menjadi tokoh utamanya. Pada tahun studi dan masa awal pelayanan akademis saya, program itu sangat tampak dalam Gereja. Pascal membedakan Allah para filsuf dan Allah Abraham, Isak dan Yakub: itu menjadi titik pangkal pemikirannya. Dalam kuliah saya mengawali masa bakti di Bonn (1959) saya telah mencoba mengupas masalah tersebut.
Sekarang tidak akan saya telaah lagi. Namun saya sekurang2nya akan secara ringkas mencoba, memperlihatkan hal baru pada gelombang kedua dibanding gelombang pertama. Inti gagasan bagi Harnack rupanya adalah kembali ke Jesus, si manusia dan inti pesan Yesus, yang ada sebelum teologisasi atau helenisasi: pesan dasar itu menyebutkan tingkatan perkembangan sejati kemanusiaan. Katanya Yesus menyisihkan kultus untuk digantikan moral. Ia diketengahkan sebagai bapak pesan moral yang penuh cinta kepada manusia.
Sebenarnya pada dasarnya kekristenan disejajarkan dengan akal budi modern: yaitu dengan melepaskannya dari unsur2 filosofis dan teologis, seperti iman akan keilahian Kristus dan Tritunggal. Sejauh itu tafsir historis-kritis atas Alkitab menempatkan teologi dalam universitas: bagi Harnack, teologi secara hakiki historis dan ilmiah.
Yang dihasilkannya dengan kritik atas Yesus adalah semacam ungkapan akal budi praktis dan dengan demikian dapat ditempatkan di universitas. Di latar belakang kita temukan akal budi masa baru yang membatasi diri, sebagaimana ditemukan dalam Kant dan kemudian diradikalkan lagi oleh pemikir filsafat alam.
Ringkasnya, paham modern mengenai akal budi ini bersandar pada hasil sintesis antara Platonisme (Cartesianisme) dan Empirisme. Di satu fihak, diandaikan struktur matematik materia (katakanlah rasionalitas batinnya), yang memungkinkan kita dapat memahami dan memakainya. Pengandaian dasar itu bisa disebut unsur platonis dari pemahaman modern tentang alam. Di sisi lain, ada soal tentang dapat berfungsinya alam untuk tujuan kita: kepastian baru kita peroleh kalau dapat dibenarkan atau disangkal dengan eksperimen.
Bobot antara keduanya dapat saja berada di salah satu sisi. Seorang pemikir yang sedemikian positivistik seperti Monod telah menyebut diri sebagai seorang Platonis atau Cartesian yang sadar dan yakin. Di sini kita mendapat 2 orientasi dasar bagi permasalahan kita. Hanya bentuk kepastian yang diperoleh dari matematik dan empirik yang memungkinkan orang bicara mengenai sifat ilmiah. Bila mau disebut ilmiah ya harus dapat diukur dengan matematik dan empirik. Maka berusahalah ilmu-ilmu seperti sejarah, psikhologi, sosiologi dan filosofi mendekati tata-kanon keilmuan (positivstik) ini.
Namun, untuk pemikiran kita masih penting bahwa metode ini menyisihkan masalah keallahan dan menyiratkan penilaian bahwa soal itu tidak ilmiah atau hanya pra-ilmiah. Dengan demikian kita ditatapkan pada penyempitan radius Ilmu dan Akal Budi: itu harus dipermasalahkan. Kita akan kembali lagi nanti. Sementara itu harus diperjelas, bahwa dengan cara pandang ini, usaha untuk menjadikan teologi itu ilmu, tinggallah kepingan upaya kecil saja. Kita harus mengatakan lebih lanjut: si manusia sendiri diperkerdil dengan cara pandang itu. Sebab, masalah-masalah yang khas manusiawi, yaitu pertanyaan mengenai dari mana dan ke mana manusia itu, pertanyaan tentang religi dan etos, tidaklah dapat mengambil tempat bersama, yang oleh akal budi dikatakan bernama ilmu dan harus ditaruh di bagian ’subyektif’. Si subyek menentukan dengan pengalamannya, apa yang agaknya dapat disebut religi dan suara hati subyektif menjadi satu-satunya instansi etis terakhir. Kalau demikian etos dan religi kehilangan kekuatannya membentuk persekutuan dan jatuh pada sifat sewenang-wenang subyektif. Keadaan ini bagi manusia berbahaya: kita melihatnya dalam ancaman patologi religi dan akal budi, yang harus meledak, di mana akal budi disempitkan, sehingga masalah religi dan etos tidak bergandengan lagi. Tidak cukup lagilah usaha-usaha etis dari pengaturan evolusi, psikhologi dan sosiologi.
Sebelum saya sampai pada kesimpulan, haruslah saya dengan singkat menyebutkan gelombang ketiga dari pembersihan unsur hellenistik masa kini. Berkaitan dengan perjumpaan banyak kebudayaan, jaman sekarang orang biasa mengatakan, sintesis dengan kebudayaan Yunani yang terlaksana dalam Gereja Perdana, itu kan inkulturasi awal iman kristiani: kita tidak boleh memancangkan kebudayaan lain di situ. Adalah hak kebudayaan lain untuk masuk ke masa sebelum inkulturasi pertama itu: sampai ke pesan awal Perjanjian Baru, untuk berinkulturasi lebih lanjut. Tesis ini tidak keliru, namun terlalu kasar dan kurang akurat. Sebab Perjanjian Baru memang ditulis dalam bahasa Yunani dan di dalamnya bersentuhanlah dengan semangat keyunanian, yang sudah matang pada masa sebelumnya waktu Perjanjian Lama berkembang.
Tentu saja ada lapisan-lapisan dalam proses terjadinya Gereja Perdana, yang tidak dalam semua kebudayaan masuk. Tetapi keputusan-keputusan dasar, yang berkaitan dengan iman dalam pertemuannya dengan akal budi manusia, itu merupakan bagian dari iman sendiri dan perkembangannya.
Sekarang kesimpulan akhirnya: Kritik diri atas akal budi modern yang baru dilakukan, tidaklah mencakup pendirian, seakan-akan manusia harus masuk ke balik pencerahan dan meninggalkan masa modern. Besarnya perkembangan budi modern diakui tanpa dikecilkan. Kita semua bersyukur untuk kemungkinan2 besar, yang terbuka bagi manusia dan untuk kemajuan2 bagi umat manusia, yang dianugerahkan bagi kita. Pada dasarnya etos keilmiahan adalah kehendak untuk taat pada kebenaran dan sejauh itu merupakan ungkapan sikap dasar, yang merupakan bagian dari pengambilan keputusan kristiani. Bukan menarik kembali atau kritik negatiflah yang kita maksudkan, melainkan soalnya adalah mengenai perluasan faham tentang akal budi dan pemakaian akal budi. Sebab kita memang bersukacita dengan kemungkinan2 baru, namun kita juga melihat ancaman2 yang terbit dari kemungkinan2 itu dan kita harus mempertanyakan, bagaimana kita dapat mengatasinya. Kita hanya dapat melakukannya, bila akal budi dan iman saling bertemu dengan cara baru; bila kita dapat mengatasi pembatasan diri akal budi atas hal-hal yang dapat dibuktikan keliru dengan eksperimen dan kembali membuka akal budi secara luas lagi. Dalam arti ini, teologi termasuk tidak hanya sebagai ilmu historis dan manusiawi, melainkan sebagai khas teologis, sebagai pertanyaan akal budi terhadap iman di universitasdan dalam dialognya dengan ilmu2 lain.
Hanya dengan demikian kita akan mampu mengadakan dialog sejati antara kebudayaan dan religi, yang amat kita butuhkan. Sejauh ini di dunia barat tersebar pendirian, hanyalah akal budi positivistis dan bentuk2 filosofis yang serupa sajalah yang bersifat universal. Tetapi dari kultur religius dunia justru dikeluarkannya Yang Ilahi dari universalitas akal budi menjadi pelanggaran terhadap keyakinan-keyakinan batin yang terdalam. Akal budi, yang tuli terhadap Yang Ilahi dan Religi yang terdesak bersembunyi dalam subkultur saja, tidaklah mampu mendorong dialog lintas budaya.
Sementara itu, saya baru saja mencoba menunjukkan, bagaimana akal budi ilmu alam modern dengan unsur platonis di dalamnya membawa-serta pertanyaan, yang menjangkau melebihi dirinya dan mengatasi kemungkinan2 metodisnya. Akal budi modern sendiri harus menerima kehadiran struktur rasional materi, sebagai saling bertemunya budi manusia dan struktur rasional yang ada dalam alam: di situlah jalan metodisnya harus berkembang.
Namun pertanyaan, mengapakah semuanya itu: itu tetap ada dan harus diserahkan oleh ilmu alam kepada tingkat lain dan cara lain manusia berpikir ? kepada filsafat dan teologi. Bagi filsafat dan dengan cara lain untuk teologi, “mendengarkan pengalaman-pengalaman besar dan faham-faham tradisi religius manusia, khususnya iman kristiani, adalah suatu sumber pencerahan, yang menolak segala penyempitan mendengar dan menjawab bisikan alam”.
Saya teringat satu kata dari Socrates dalam tulisannya Phaidon. Dalam percakapan-percakapan yang lalu orang sering menyinggung pandangan2 filosofis yang keliru, dan kemudian Socrates berkata: Haruslah difahami, kalau karena jengkel atas sekian banyak kesalahan sepanjang hidupnya orang benci akan segala percakapan tentang Ada dan mencercanya.
Namun kalau demikian ia hanya akan melecehkan kebenaran dan mengalami kerugian yang besar. Dunia Barat telah membahayakan akal budi dengan menghindari pertanyaan-pertanyaan mendasar ini dan dapat dengan demikian hanya mengalami kerugian besar. Berani memasuki keluasan akal budi, tidak menolak keagungannya ? itulah program, yang harus dilaksanakan oleh teologi yang memiliki komitmen pada iman alkitabiah dalam perjumpaan dengan masa kini “Bertindak tidak rasional (dengan Logos) itu bertentangan dengan hakikat Allah”, itulah inti ucapan Manuel II mengenai citra Allah yang difahaminya sebagai orang kristiani kepada rekan bicaranya sang bijak dari Persia. Dalam Logos yang agung ini, dalam keluasan akal budi ini kami mengundang para rekan bicara kami untuk berdialog. Tugas universitas adalah senantiasa menemukan hal itu. [ islamkini ]
KULIAH PAUS BENEDICTUS XVI:
“Iman, Akal Budi dan Universitas”
12.9.2006
Bagiku merupakan saat mengharukan, bahwa saya berdiri lagi di mimbar Universitas ini dan sekali lagi boleh memberikan kuliah. Dalam pada itu pikiranku kembali ke tahun-tahun, ketika saya menerima tugas sebagai guru akademis di Universitas Bonn setelah suatu kurun waktu indah di Sekolah Tinggi Freising. Waktu itu ? 1959 ? masih jaman tata Universitas lama. Untuk setiap mata kuliah tidak ada asisten atau sekretaris: tetapi untungnya malah ada perjumpaan yang amat langsung dengan mahasiswa dan terutama juga antara para Profesor satu sama lain. Di ruang dosen kami dapat ketemu sebelum atau sesudah kuliah. Kontak antara ahli sejarah, filsuf, filolog dan tentu saja juga antara para teolog dari kedua fakultas teologi (Protestan dan Katolik) sangat akrab.
Tiap semester ada Hari Akademi: pada saat itu Profesor dari semua fakultas memperkenalkan diri kepada para mahasiswa seluruh Universitas dan dengan demikian menjadi mungkinlah untuk mengalami Universitas benar-benar. Bahwa kami (dengan semua spesialisasinya kadang kala membuat kami tidak dapat bicara satu sama lain), toh merupakan satu kesatuan dan semuanya bekerja dengan satu akal budi dengan aneka dimensinya serta sama-sama mengalami pertanggungjawaban penggunaan akal budi secara benar.
Universitas juga bangga dengan kedua fakultas teologinya (Protestan dan Katolik). Jelas, bahwa kedua fakultas itu, dengan mengajukan pertanyaan rasional kepada iman, yang perlu agar menjadi bagian dari seluruh ‘Universitas scientiarum’, pun kalau imannya tidak dapat sama, mendorong para teolog untuk sama-sama menggunakan akal budi. Kesatuan batin dalam dunia akal budi itu tidak juga terganggu, tatkala pernah terdengar, katanya ada kolega dosen yang berucap: di Universitas kita katanya ada hal aneh, yaitu bahwa ada 2 fakultas yang mempelajari ’sesuatu yang tidak ada’ (yaitu Allah). Bahwa di tengah sikap skepsis seperti ini tetap perlu dan rasional saja, mengajukan pertanyaan secara rasional tentang Allah dan melakukannya dalam kaitan dengan Tradisi iman katolik, tidaklah dipermasalahkan di seluruh Universitas. Semua itu muncul dalam kesadaranku lagi, ketika belum lama ini saya membaca bagian dialog yang diterbitkan oleh Prof Th. Khoury (Muenster): di situ: dialognya dari tahun 1391 di suatu barak musim dingin dekat Ankara antara Kaisar terpelajar Manuel II Palaeologos dengan sang bijak dari Persia mengenai agama kristiani dan Islam dan mengupas soal kebenaran keduanya. Kaisar mungkin menuliskan dialog itu saat pengepungan Konstantinopel antara 1394 dan 1402 (maka ia menguraikan pendiriannya sendiri jauh lebih rinci daripada jawab sang ahli dari Persia.) Dialog itu mencakup seluruh jaringan iman dalam Alkitab dan Al Qur’an serta terutama berkisar tentang citra Allah dan gambaran manusia, tetapi juga tentu saja lagi dan lagi mengenai hubungan antara ketiga Kitab Hukum Perjanjian Lama, Perjanjian Baru dan Al Qur’an.
Dalam kuliah ini saya hanya akan menyebut satu butir (yang juga tidak merupakan inti dialog itu): satu butir yang menarik perhatian saya dalam kaitan dengan tema “Iman dan Akal Budi” dan dapat bermanfaat untuk menjadi pangkal pemikiran saya. Dalam buku yang diterbitkan Prof Khoury itu pada lingkaran diskusi yang ketujuh, Kaisar sampai pada tema Jihad (Perang Suci). Kaisar pasti tahu, bahwa dalam Surah 2, 256 dikatakan mengenai tiadanya paksaan untuk urusan iman ? itu satu di antara Surah-surah pertama dari masa, ketika Muhammad sendiri dalam kondisi lemah dan terancam. Kaisar tentu tahu juga akan yang tertulis dalam Al Qur’an ? kelak tersusunnya ? ketentuan mengenai Perang Suci. Tanpa mau masuk ke dalam rinci-rincian, bagaimana hubungan antara umat Ahli Kitab dan Orang Tak Beriman, Kaisar secara mengherankan memakai cara langsung ke dalam pertanyaan utama tentang hubungan antara agama dan kekuasaan kepada rekan bicaranya. *Ia berkata “Tunjukkanlah, apa yang dibawa Muhammad dan Anda hanya akan menemukan yang buruk dan tidak manusiawi, seperti bahwa ia memerintahkan agar iman yang diwartakannya disebarluaskan dengan pedang. Hal itu bertentangan dengan kodrat Allah dan kodrat jiwa”.
“Allah tidak mencintai darah dan tidak bertindak rasional itu bertentangan dengan hakikat Allah. Iman itu buah jiwa, bukan dari tubuh. Maka siapa yang menyuruh orang untuk beriman, perlu menggunakan argumentasi yang baik dan cara berpikir yang benar, bukan kekuatan dan ancaman …Untuk meyakinkan seseorang yang rasional, perlulah orang bukan tangan atau alat kekerasan atau sesuatu alat,yang dapat mengancamkan kematian”.*
*Kalimat yang menentukan dalam argumentasi terhadap pentobatan dengan kekerasan berbunyi: “bertindak tidak secara rasional, itu bertentangan dengan kodrat Allah”.*
Si penyunting (Th. Khoury) memberi komentar sbb: Bagi Kaisar itu (yang dibesarkan sebagai orang Byzantium dalam filsafat Yunani) kalimat itu sudah jelas. Sebaliknya bagi ajaran Islam, Allah itu mutlak transenden. KehendakNya tidak terikat pada kategori-kategori kita mana pun, termasuk rasionalitas. Untuk itu Khoury mengutip suatu karya dari Islamolog Perancis yang terkenal (R. Arnaldez), yang mengatakan, bahwa Ibn Hazn sampai menyatakan, bahwa Allah tidak dibatasi oleh SabdaNya sendiri dan tak ada yang mewajibkanNya untuk mewahyukan kebenaran. Bila ia menghendaki itu, mestinya bisa menyembah berhala.
Di sini terkuaklah perbedaan cara orang memahami Allah dan dengan demikian juga dalam secara konkret melaksanakan agama, yang sekarang merupakan tantangan langsung bagi kita. Hanya cara Yunanikah utk berpendapat bhw “bertindak tak rasional itu bertentangan dengan hakikat Allah”, ataukah itu berlaku selalu dan memang secara hakiki demikian? Saya pikir, di sini ada nada sama antara apa yang secara Yunani tepat dan apa yang tampak dalam Alkitab mendasari iman akan Allah.
Seraya mengubah ayat pertama Kitab Kejadian, Yohannes membukan Prolog Injilnya dengan kata: “Pada awal mula ada Sabda”. Itulah yang persis dipakai oleh Kaisar: Allah bertindak dengan Sabda. Sabda itu akal budi dan sekaligus kata ? suatu akal budi, yang kreatif dan dapat mengkomunikasikan diri tetapi memang secara rasional.
Dengan demikian Yohannes memberi kata penutup pada paham alkitabiah ttg Allah: di situ semua jalan yang sering sulit dan samar2 mengenai iman alkitabiah sampai di tujuan akhir dan menemukan sintesisnya. Pada awal mula ada Sabda, dan Sabda adalah Allah: begitulah kata Pengarang Injil. Ketemunya pesan Alkitab dengan pemikiran Yunani tidaklah kebetulan.
Visi St. Paulus, (yang tertutup jalannya ke Asia dan yang kemudian melihat wajah orang Macedonia dan mendengarnya memanggilnya utk datang dan menolong ? Kis 16: 6-10) ? visi itu dapat menjadi pengentalan perjumpaan batin antara iman alkitabiah dan pertanyaan hidup pola Yunani. Sementara itu, perjumpaan seperti itu sesungguhnya sudah lama berlangsung.
Nama Allah yang penuh misteri dari Semak Berduri yang terbakar, yang mengkhususkan Allah ini dari banyak nama dan menyebut sebagai Sang Ada adalah penolakan Mitos, sangat analog dengan cara jaman Socrates mengatasi dan melampaui mitos. Proses yang dimulai di Semak Berduri menjadi masak lagi dalam Perjanjian Lama sewaktu Pengungsian: di situ Allah Israel yang tanpa negeri dan tanpa bakti diwartakan sebagai Allah bumi-langit dan diperkenalkan dengan istilah sederhana ? meneruskan kata-di-Semak-Berduri yi “Akulah Yang Ada”.
Bersama dengan pengenalan baru Allah ini terjadilah suatu pencerahan ttg Dewa2 yang secara merendahkan disebut “buatan manusia” (bdk. Mzm 115).
Demikianlah, pada masa hellenistik, dalam ketegangan tajam kepada para penguasa Yunani, yang mau memaksakan cara hidup dan cara bakti hellenistik, iman alkitabiah bersentuhan dengan segi terbaik pemikiran Yunani dari dalam ? sebagaimana khususnya akan terwujud dalam Sastra Kebijaksanaan. Sekarang kita tahu, bahwa terjemahan Yunani Perjanjian Lama yang terwujud di Alexandria ? Septuaginta ? itu lebih daripada sekedar terjemahan teks Ibrani (pun kalau dinilai sedikit lebih positif): malah merupakan saksi sastra yang mandiri dan langkah penting tersendiri dari Sejarah Perwahyuan: di situ perjumpaan itu terlaksana dengan suatu cara, yang untuk berdirinya agama Kristiani dan persebarannya mempunyai arti yang menentukan. Pada lapisan terdalam terjadilah pertemuan antara iman dan akal budi, antara pencerahan dan religi. Manuel II telah dapat berkata sungguh dari kedalaman hakikat iman kristiani dan sekaligus dari hakikat budaya Yunaninya, yang menyatu dengan iman: bertindak “tidak bersama Logos” itu bertentangan dengan hakikat Allah.
Di sini, demi kejelasan perlu disebutkan bahwa pada akhir Abad Pertengahan berkembang kecenderungan2 dalam teologi, yang merombak sintesis antara Yang Yunani dan Yang Kristiani itu. Berhadapan dengan yang disebut intelektualisme Agustinus dan Tomas, mulailah Duns Scotus dengan Voluntarisme, yang kemudian sampai mengatakan, bahwa mengenai Allah kita hanya mengenal kehendakNya, voluntas ordinata.
Lebih jauh daripadanya, ada kehendak bebas Allah: karena kekuatan itu, Ia sesungguhnya dapat melakukan dan bertindak bertentangan dengan segala yang telah dilakukannya. Di situ terkuaklah pendirian-pendirian, yang dekat dengan Ibn Hazn dan dapat mengarah pada Serba-bebasnya Kehendak Allah, yang malah tidak terikat pada kebenaran dan kebaikan. Transendensi dan keberbedaan Allah sedemikian dilampaui, sehingga akal budi, prarasa kita akan kebenaran dan kebaikan bukan lagi citra sejati Allah, yang kemampuan dasarNya di balik segala keputusanNya yang nyata itu memang bagi kita tidak terjangkau dan akan tetap tersembunyi.
Terhadap hal itu, iman Gereja selalu berpegangan, bahwa antara Allah dengan kita, antara Roh PenciptaNya yang abadi dan akal budi kita yang tercipta sungguh ada analogi nyata: di situ ‘ketidak-miripan’ secara mutlak lebih besar dari pada kemiripan; namun di situ analogi dan bahasa tidak akan disingkirkan (bdk Lat IV).
Allah tidaklah menjadi lebih ilahi karena kita desak menuju pada Voluntarisme yang murni dan tak terbayangkan. Allah yang sungguh ilahi adalah Allah, yang menunjukkan diri sebagai Logos dan sebagai Logos dengan penuh kasih telah bertindak dan senantiasa bertindak sekarang. Tentu saja cintakasih “mengatasi ‘pemahaman’ dan karena itu lebih menangkap dari pada sekedar berpikir saja” (bdk Ef 3: 19). Namun cinta tetaplah kasih Logos Allah, asal dari ibadat kristiani ….. ? ibadat, yang sesuara dengan Sabda Abadi dan dengan akal budi kita (bdk Rom 12:1). Tindak saling mendekat yang disiratkan di sini, yaitu yang terjadi antara iman alkitabiah dan pertanyaan-pertanyaan filosofis Yunani, bukanlah hanya peristiwa yang menentukan dari sudut keagamaan saja, melainkan juga dari sejarah dunia. Bila kita menangkap perjumpaan ini, tidaklah mengherankan bahwa iman kristiani, memang bermula dan tumbuh di Timur namun toh ternyata memberi meterai yang menentukan secara historis di Eropa. Kita dapat juga mengatakan sebaliknya: perjumpaan itu, yang masih ditambah warisan romawi, telah menciptakan Eropa dan tetap menjadi dasar dari yang secara sebenarnya disebut Eropa.
Tesis, yang menyatakan bahwa warisan Yunani yang dimurnikan secara kritis itu merupakan bagian dari iman kristiani, sesungguhnya membawa tuntutan bahwa Yang Kristiani harus dibersihkan dari Yang Yunani: suatu gerakan yang sejak Jaman Baru mempengaruhi refleksi teologis. Bila diperhatikan lebih jauh lagi, dapatlah dicermati adanya 3 gelombang, yang memang berkaitan satu sama lain, tetapi toh jelas terbedakan dasar dan sasarannya.
Pembersihan dari sifat Yunani muncul pertama-tama dalam keprihatinan dasar Reformasi abad 16. Para Reformator melihat dari sudut filsafat, dalam tradisi sekolah2 teologis suatu sistematisasi iman tertentu: hal yang asing terhadap iman bertolak dari cara berpikir tertentu. Di situ iman tampil tidak lagi sebagai Sabda yang secara historis hidup, melainkan ditancapkan sebagai sistem filosofis. Sebaliknya ‘Sola scriptura’ mencari wujud perdana iman, sebagaimana Sabda alkitabiah pada awalnya. Metafisik tampil sebagai masukan dari luar: orang beriman harus membebaskan diri darinya agar dapat menjadi dirinya lagi. Dengan cara yang bagi kaum Reformator tidak terbayangkan radikalnya, Kant telah melangkah jauh dengan mengatakan bahwa ia harus menyingkirkan pikiran, agar dapat memberi tempat kepada iman. Akhirnya ia menempatkan akar iman pada akal budi praktis dan tidak mengaitkannya dengan keseluruhan kenyataan.
Teologi Liberal abad 19-20 membawa gelombang baru dalam program pembersihan sifat2 keyunanian. Bagi mereka, Adolf von Harnack menjadi tokoh utamanya. Pada tahun studi dan masa awal pelayanan akademis saya, program itu sangat tampak dalam Gereja. Pascal membedakan Allah para filsuf dan Allah Abraham, Isak dan Yakub: itu menjadi titik pangkal pemikirannya. Dalam kuliah saya mengawali masa bakti di Bonn (1959) saya telah mencoba mengupas masalah tersebut.
Sekarang tidak akan saya telaah lagi. Namun saya sekurang2nya akan secara ringkas mencoba, memperlihatkan hal baru pada gelombang kedua dibanding gelombang pertama. Inti gagasan bagi Harnack rupanya adalah kembali ke Jesus, si manusia dan inti pesan Yesus, yang ada sebelum teologisasi atau helenisasi: pesan dasar itu menyebutkan tingkatan perkembangan sejati kemanusiaan. Katanya Yesus menyisihkan kultus untuk digantikan moral. Ia diketengahkan sebagai bapak pesan moral yang penuh cinta kepada manusia.
Sebenarnya pada dasarnya kekristenan disejajarkan dengan akal budi modern: yaitu dengan melepaskannya dari unsur2 filosofis dan teologis, seperti iman akan keilahian Kristus dan Tritunggal. Sejauh itu tafsir historis-kritis atas Alkitab menempatkan teologi dalam universitas: bagi Harnack, teologi secara hakiki historis dan ilmiah.
Yang dihasilkannya dengan kritik atas Yesus adalah semacam ungkapan akal budi praktis dan dengan demikian dapat ditempatkan di universitas. Di latar belakang kita temukan akal budi masa baru yang membatasi diri, sebagaimana ditemukan dalam Kant dan kemudian diradikalkan lagi oleh pemikir filsafat alam.
Ringkasnya, paham modern mengenai akal budi ini bersandar pada hasil sintesis antara Platonisme (Cartesianisme) dan Empirisme. Di satu fihak, diandaikan struktur matematik materia (katakanlah rasionalitas batinnya), yang memungkinkan kita dapat memahami dan memakainya. Pengandaian dasar itu bisa disebut unsur platonis dari pemahaman modern tentang alam. Di sisi lain, ada soal tentang dapat berfungsinya alam untuk tujuan kita: kepastian baru kita peroleh kalau dapat dibenarkan atau disangkal dengan eksperimen.
Bobot antara keduanya dapat saja berada di salah satu sisi. Seorang pemikir yang sedemikian positivistik seperti Monod telah menyebut diri sebagai seorang Platonis atau Cartesian yang sadar dan yakin. Di sini kita mendapat 2 orientasi dasar bagi permasalahan kita. Hanya bentuk kepastian yang diperoleh dari matematik dan empirik yang memungkinkan orang bicara mengenai sifat ilmiah. Bila mau disebut ilmiah ya harus dapat diukur dengan matematik dan empirik. Maka berusahalah ilmu-ilmu seperti sejarah, psikhologi, sosiologi dan filosofi mendekati tata-kanon keilmuan (positivstik) ini.
Namun, untuk pemikiran kita masih penting bahwa metode ini menyisihkan masalah keallahan dan menyiratkan penilaian bahwa soal itu tidak ilmiah atau hanya pra-ilmiah. Dengan demikian kita ditatapkan pada penyempitan radius Ilmu dan Akal Budi: itu harus dipermasalahkan. Kita akan kembali lagi nanti. Sementara itu harus diperjelas, bahwa dengan cara pandang ini, usaha untuk menjadikan teologi itu ilmu, tinggallah kepingan upaya kecil saja. Kita harus mengatakan lebih lanjut: si manusia sendiri diperkerdil dengan cara pandang itu. Sebab, masalah-masalah yang khas manusiawi, yaitu pertanyaan mengenai dari mana dan ke mana manusia itu, pertanyaan tentang religi dan etos, tidaklah dapat mengambil tempat bersama, yang oleh akal budi dikatakan bernama ilmu dan harus ditaruh di bagian ’subyektif’. Si subyek menentukan dengan pengalamannya, apa yang agaknya dapat disebut religi dan suara hati subyektif menjadi satu-satunya instansi etis terakhir. Kalau demikian etos dan religi kehilangan kekuatannya membentuk persekutuan dan jatuh pada sifat sewenang-wenang subyektif. Keadaan ini bagi manusia berbahaya: kita melihatnya dalam ancaman patologi religi dan akal budi, yang harus meledak, di mana akal budi disempitkan, sehingga masalah religi dan etos tidak bergandengan lagi. Tidak cukup lagilah usaha-usaha etis dari pengaturan evolusi, psikhologi dan sosiologi.
Sebelum saya sampai pada kesimpulan, haruslah saya dengan singkat menyebutkan gelombang ketiga dari pembersihan unsur hellenistik masa kini. Berkaitan dengan perjumpaan banyak kebudayaan, jaman sekarang orang biasa mengatakan, sintesis dengan kebudayaan Yunani yang terlaksana dalam Gereja Perdana, itu kan inkulturasi awal iman kristiani: kita tidak boleh memancangkan kebudayaan lain di situ. Adalah hak kebudayaan lain untuk masuk ke masa sebelum inkulturasi pertama itu: sampai ke pesan awal Perjanjian Baru, untuk berinkulturasi lebih lanjut. Tesis ini tidak keliru, namun terlalu kasar dan kurang akurat. Sebab Perjanjian Baru memang ditulis dalam bahasa Yunani dan di dalamnya bersentuhanlah dengan semangat keyunanian, yang sudah matang pada masa sebelumnya waktu Perjanjian Lama berkembang.
Tentu saja ada lapisan-lapisan dalam proses terjadinya Gereja Perdana, yang tidak dalam semua kebudayaan masuk. Tetapi keputusan-keputusan dasar, yang berkaitan dengan iman dalam pertemuannya dengan akal budi manusia, itu merupakan bagian dari iman sendiri dan perkembangannya.
Sekarang kesimpulan akhirnya: Kritik diri atas akal budi modern yang baru dilakukan, tidaklah mencakup pendirian, seakan-akan manusia harus masuk ke balik pencerahan dan meninggalkan masa modern. Besarnya perkembangan budi modern diakui tanpa dikecilkan. Kita semua bersyukur untuk kemungkinan2 besar, yang terbuka bagi manusia dan untuk kemajuan2 bagi umat manusia, yang dianugerahkan bagi kita. Pada dasarnya etos keilmiahan adalah kehendak untuk taat pada kebenaran dan sejauh itu merupakan ungkapan sikap dasar, yang merupakan bagian dari pengambilan keputusan kristiani. Bukan menarik kembali atau kritik negatiflah yang kita maksudkan, melainkan soalnya adalah mengenai perluasan faham tentang akal budi dan pemakaian akal budi. Sebab kita memang bersukacita dengan kemungkinan2 baru, namun kita juga melihat ancaman2 yang terbit dari kemungkinan2 itu dan kita harus mempertanyakan, bagaimana kita dapat mengatasinya. Kita hanya dapat melakukannya, bila akal budi dan iman saling bertemu dengan cara baru; bila kita dapat mengatasi pembatasan diri akal budi atas hal-hal yang dapat dibuktikan keliru dengan eksperimen dan kembali membuka akal budi secara luas lagi. Dalam arti ini, teologi termasuk tidak hanya sebagai ilmu historis dan manusiawi, melainkan sebagai khas teologis, sebagai pertanyaan akal budi terhadap iman di universitasdan dalam dialognya dengan ilmu2 lain.
Hanya dengan demikian kita akan mampu mengadakan dialog sejati antara kebudayaan dan religi, yang amat kita butuhkan. Sejauh ini di dunia barat tersebar pendirian, hanyalah akal budi positivistis dan bentuk2 filosofis yang serupa sajalah yang bersifat universal. Tetapi dari kultur religius dunia justru dikeluarkannya Yang Ilahi dari universalitas akal budi menjadi pelanggaran terhadap keyakinan-keyakinan batin yang terdalam. Akal budi, yang tuli terhadap Yang Ilahi dan Religi yang terdesak bersembunyi dalam subkultur saja, tidaklah mampu mendorong dialog lintas budaya.
Sementara itu, saya baru saja mencoba menunjukkan, bagaimana akal budi ilmu alam modern dengan unsur platonis di dalamnya membawa-serta pertanyaan, yang menjangkau melebihi dirinya dan mengatasi kemungkinan2 metodisnya. Akal budi modern sendiri harus menerima kehadiran struktur rasional materi, sebagai saling bertemunya budi manusia dan struktur rasional yang ada dalam alam: di situlah jalan metodisnya harus berkembang.
Namun pertanyaan, mengapakah semuanya itu: itu tetap ada dan harus diserahkan oleh ilmu alam kepada tingkat lain dan cara lain manusia berpikir ? kepada filsafat dan teologi. Bagi filsafat dan dengan cara lain untuk teologi, “mendengarkan pengalaman-pengalaman besar dan faham-faham tradisi religius manusia, khususnya iman kristiani, adalah suatu sumber pencerahan, yang menolak segala penyempitan mendengar dan menjawab bisikan alam”.
Saya teringat satu kata dari Socrates dalam tulisannya Phaidon. Dalam percakapan-percakapan yang lalu orang sering menyinggung pandangan2 filosofis yang keliru, dan kemudian Socrates berkata: Haruslah difahami, kalau karena jengkel atas sekian banyak kesalahan sepanjang hidupnya orang benci akan segala percakapan tentang Ada dan mencercanya.
Namun kalau demikian ia hanya akan melecehkan kebenaran dan mengalami kerugian yang besar. Dunia Barat telah membahayakan akal budi dengan menghindari pertanyaan-pertanyaan mendasar ini dan dapat dengan demikian hanya mengalami kerugian besar. Berani memasuki keluasan akal budi, tidak menolak keagungannya ? itulah program, yang harus dilaksanakan oleh teologi yang memiliki komitmen pada iman alkitabiah dalam perjumpaan dengan masa kini “Bertindak tidak rasional (dengan Logos) itu bertentangan dengan hakikat Allah”, itulah inti ucapan Manuel II mengenai citra Allah yang difahaminya sebagai orang kristiani kepada rekan bicaranya sang bijak dari Persia. Dalam Logos yang agung ini, dalam keluasan akal budi ini kami mengundang para rekan bicara kami untuk berdialog. Tugas universitas adalah senantiasa menemukan hal itu. [ islamkini ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar