Bukan Sekali-Dua Kali Umat Islam Telah Dikadalin Media Massa - Bukan satu-dua kali, jika menyangkut Islam, media TV menampilkan sumber monolog, utamanya datang dari militer atau polisi - Tak lama setelah pengasuh Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Solo, Ustad Abubakar Ba’asyir (ABB) ditangkap Densus 88, sebuah stasiun TV mengadakan acara dialog Live.
Melalui seorang presenter, stasiun televisi tersebut membuka kesempatan bagi pemirsa untuk memberikan opininya tentang penangkapan Ustad ABB. Tanpa disangka, si penelepon, rupanya sejalan dengan pemikiran ABB, di mana ia meyakini ada rekayasa asing dalam penangkapan tersebut. Tapi ada yang menarik dalam sesi tanya jawab itu. Di saat sang penelpon mengatakan bahwa Densus 88-lah yang sebenarnya melakukan tindakan “teror” , telepon sang penanya langsung diputus oleh pihak TV.
Rupanya presenter tahu betul, si penelepon kurang sejalan dengan misi TV-nya dalam dialog bertema terorisme ini.
Kasus-kasus seperti ini di media massa kita memang bukan terjadi sekali-dua kali. Bulan Juli 2009, beberapa hari pascapeledakan bom Kuningan, sebuah stasiun TV mewawancarai mantan Kepala Densus 88 Polri Brigjen Pol. (Purn) Suryadarma Salim. Dengan panjang lebar mantan Kepala Satgas Antiteror Polri ini secara monolog, menjelaskan masalah terorisme. Ia, mengatakan, "Mereka ingin mendirikan Daulah Islamiyah (negara Islamiyah di Indonesia), dan habitat mereka itu paling subur di Indonesia.”
Bisa dibayangkan, seorang polisi--bukan seorang ahli mengenal liku-liku gerakan Islam—bahkan boleh dikata kurang paham Islam, membahas terorisme dan kaitannya dengan Islam secara monolog, tanpa pembanding.
Yang mengejutkan, tayangan itu disiarkan lagi berulang-ulang selama beberapa hari, dari pagi, sore, dan malam hari.
Sekedar catatan, rata-rata untuk tayang iklan di TV butuh biaya sekitar Rp 10 juta per/ 30 detik. Memunculkan Suryadarma Salim dengan waktu panjang berulang kali, bukan sebuah kebetulan. Pastilah ada udang di balik batu.
Berapa juta orang “terhipnotis” kampanye Suryadarma Ali hari itu?
Islam dan propaganda media
Dua hal yang tak bisa dipisahkan dalam setiap misi media adalah, membangun opini publik dan propaganda.
Pertama, propaganda selalu memberikan informasi yang dirancang dengan pesan yang sudah disiapkan tujuannya. Tentu saja, terserah pengelola media yang bersangkutan. Semua pesan dan faktanya, adalah pilihan redaksi. Pesan propaganda harus dapat menghasilkan pengaruh. Jadi, propaganda bukan suatu kebetulan, dia adalah memanipulasi buah pikiran yang dikehendaki.
Kedua, opini publik (public opinion). Secara psikologis, opini publik pada dasarnya ditentukan oleh pendangan dan kepentingan pribadi atau golongan (dalam hal ini media). Meski demikian, kemampuannya mampu menggerakkan perangkat politik dan Negara.
Korban dua hal ini bisa dilihat dalam kasus wacana FPI, poligami, nikah sirri dan terorisme.
Syekh Puji dicitrakan sangat negatif karena ia menikahi anak SMP. Karena itu, media memberi image orang menikah “sirri” sebagai kejahatan, melebihi koruptor. Sebaliknya jutaan orang justru dimuliakan karena mereka kumpul kebo. Andaikata Syekh Puji meniduri 100 WTS, dia tak akan dihukum dan tidak akan pula dicitrakan seolah “jahat”.
Mantan Ketua PBNU pernah berseloroh, “Jika nanti ada polisi menggerebek orang yang nikah sirri, lebih baik mengaku saja kumpul kebo.” Pernyataan ini, sekedar menunjukkan, betapa tak adilnya hukum dan logika media massa di negeri ini.
Bukan sekali-dua kali umat Islam dikadalin (dikerjain, red) media massa tanpa bisa melakukan pembalasan atau memberikan hal jawab secara adil dan sepadan.
Di sinilah letak penting mengapa umat Islam harus memiliki media. Hanya saja, meski sering menjadi korban, umat Islam sering mengabaikan arti penting keberadaan media. Kaum muslim yang kaya, biasanya, sering mengalokasikan uangnya untuk kampanye jadi bupati, gubernur atau presiden.
Betapa sering orang kaya-raya menghambur-hamburkan uangnya untuk kampanye pilkada? Toh akhirnya tidak sedikit mereka batal jadi pejabat.
Jika umat Islam memiliki media yang bagus dan kuat, dan dikelola secara baik, maka, pemberitaan dan pembentukan opini apapun bisa dikelola secara baik. Isu negatif tentang Islam akan dengan mudah pula dinetralisir. Semua pencitraan buruk tentang Islam oleh Barat, juga bisa terbendung.
Adalah pernyataan Dr. Yusuf Qaradhawi yang sangat luar biasa bagus. Beliau mengatakan, “Kalau saja kita (umat Islam) diberi kebebasan selama 20 tahun untuk membina umat, tanpa gangguan dan tekanan penguasa (Barat) atau konflik dengan mereka, itu sudah cukup untuk mengembalikan kejayaan umat Islam”.
Faktanya, umat Islam tak berdaya bukan karena mereka tak berdaya. Yang ada, karena mereka “diperdayai”.
Dr. Zakir Naik, seorang ilmuwan, kristolog dan seorang dai asal India, pernah merasakan ini memanfaatkan peluang emas mengisi seorang diri. Ia pernah beusaha me-lobby sebuah stasiun televisi untuk program Islam tanpa disensor, ditutup-tutupi atau diatur keinginan rating. Ketika itu waktu yang diberikan hanya beberapa puluh menit saja, namun Alhamdulillah, program itu mampu menyedot perhatian pemirsa dan direspon secara positif. Sampai akhirnya stasiun televisi lokal tersebut rela membayar Dr. Zakir Naik atas program yang dibuatnya tersebut. Namun beliau menolak, dengan mengatakan, “Saya tidak butuh uangmu, cukup berikan saya waktu lebih banyak lagi untuk mendakwahkan Islam di televisimu”.
Sesungguhnya jika kehidupan dunia ini bisa diibaratkan game (permainan), dan umat Islam diberi waktu memainkan peran secara adil, maka hasilnya akan berbeda. Tapi, faktanya tidaklah demikian.
Media dan dakwah
Kepemilikan media sangat menentukan keberhasilan dakwah Islam melalui media. Itu juga yang menjadi alasan mengapa dakwah Islam belum bisa efektif dan tersebar luas di seluruh pelosok dunia.
Umat Islam harus berazam untuk memiliki media massa yang baik atau memperkuat yang sudah ada. Media yang adil dalam penyampaian berita, sehingga dampaknya bisa dirasakan pada semua makhluk, tak hanya umat Islam sendiri. Bahkan bisa dirasakan umat lain.
Bukan media yang menuhankan rating. Media massa yang menjadikan ideologinya profit oriented, ia cenderung menghalalkan segala cara. Karenanya, jangan heran, banyak orang cerdas tiba-tiba hilang kendali setelah mereka bergabung di media massa. Sebelum masuk, ia dikenal anak-anak kampus yang cerdas. Sebab, rata-rata IP menjadi wartawan selalu di atas 3 dan memiliki kemampuan bahasa asing yang baik. Sayangnya, setelah jadi wartawan, kebiasaan membaca, mendengar pendapat orang dan kemampuan menganalisa jadi tumpul. Sebab, ia lebih mengejar “esklusivitas” berita. Secara akademik, mungkin ia masih cerdas, tapi, ia sudah tak memiliki kecerdasan “hati”.
Hampir semua orang yang digerebek Densus 88 langsung disebut media sebagai “teroris”, meski pengadilan belum berjalan. Media tak pernah mengukur, bagaimana perasaan anak dan istri mereka di lingkungan, di sekolah, dan di tempat kerja mereka. Sebutan ini saja sudah hukuman yang belum tentu bisa hilang selama puluhan tahun.
Tapi tak usah berharap banyak, sebab, media yang visi utamanya hanya profit oriented, bisa dipastikan, tak akan melahirkan wartawan/penulis/reporter/redaktur yang memiliki kecerdasan hati dan perasaan. Hasilnya selalu begitu.
Selama orientasi pemilik media hanyalah modal dan profit, maka selamanya tak akan sejalan dengan tujuan dakwah dan Islam itu sendiri. Di sinilah letak arti penting media Islam.
Meski demikian, pekerjaan mengelola media bukanlah pekerjaan sederhana. Sebab ia dibutuhkan keterampilan dan keahlian yang baik dan benar. Bukan asal membuat media.
Andaikata, saat ini semua media, TV dan kantor berita dihibahkan kepada umat Islam, belum tentu, umat Islam mampu mengelolanya dengan baik.
Sumber daya umat Islam dalam mengelola media ini masih kurang akibat ketidakterarikan umat akan bidang ini. Di saat yang sama, banyak umat Islam membanggakan media-media yang selama ini justru sering “memusuhi” Islam secara diam-diam. Bahkan tak terasa pula, ia menjadi wartawan/penulis/pembaca, bahkan menjadi pelanggan setianya. ( hidayatullah.com )
Melalui seorang presenter, stasiun televisi tersebut membuka kesempatan bagi pemirsa untuk memberikan opininya tentang penangkapan Ustad ABB. Tanpa disangka, si penelepon, rupanya sejalan dengan pemikiran ABB, di mana ia meyakini ada rekayasa asing dalam penangkapan tersebut. Tapi ada yang menarik dalam sesi tanya jawab itu. Di saat sang penelpon mengatakan bahwa Densus 88-lah yang sebenarnya melakukan tindakan “teror” , telepon sang penanya langsung diputus oleh pihak TV.
Rupanya presenter tahu betul, si penelepon kurang sejalan dengan misi TV-nya dalam dialog bertema terorisme ini.
***
Kasus-kasus seperti ini di media massa kita memang bukan terjadi sekali-dua kali. Bulan Juli 2009, beberapa hari pascapeledakan bom Kuningan, sebuah stasiun TV mewawancarai mantan Kepala Densus 88 Polri Brigjen Pol. (Purn) Suryadarma Salim. Dengan panjang lebar mantan Kepala Satgas Antiteror Polri ini secara monolog, menjelaskan masalah terorisme. Ia, mengatakan, "Mereka ingin mendirikan Daulah Islamiyah (negara Islamiyah di Indonesia), dan habitat mereka itu paling subur di Indonesia.”
Bisa dibayangkan, seorang polisi--bukan seorang ahli mengenal liku-liku gerakan Islam—bahkan boleh dikata kurang paham Islam, membahas terorisme dan kaitannya dengan Islam secara monolog, tanpa pembanding.
Yang mengejutkan, tayangan itu disiarkan lagi berulang-ulang selama beberapa hari, dari pagi, sore, dan malam hari.
Sekedar catatan, rata-rata untuk tayang iklan di TV butuh biaya sekitar Rp 10 juta per/ 30 detik. Memunculkan Suryadarma Salim dengan waktu panjang berulang kali, bukan sebuah kebetulan. Pastilah ada udang di balik batu.
Berapa juta orang “terhipnotis” kampanye Suryadarma Ali hari itu?
Islam dan propaganda media
Dua hal yang tak bisa dipisahkan dalam setiap misi media adalah, membangun opini publik dan propaganda.
Pertama, propaganda selalu memberikan informasi yang dirancang dengan pesan yang sudah disiapkan tujuannya. Tentu saja, terserah pengelola media yang bersangkutan. Semua pesan dan faktanya, adalah pilihan redaksi. Pesan propaganda harus dapat menghasilkan pengaruh. Jadi, propaganda bukan suatu kebetulan, dia adalah memanipulasi buah pikiran yang dikehendaki.
Kedua, opini publik (public opinion). Secara psikologis, opini publik pada dasarnya ditentukan oleh pendangan dan kepentingan pribadi atau golongan (dalam hal ini media). Meski demikian, kemampuannya mampu menggerakkan perangkat politik dan Negara.
Korban dua hal ini bisa dilihat dalam kasus wacana FPI, poligami, nikah sirri dan terorisme.
Syekh Puji dicitrakan sangat negatif karena ia menikahi anak SMP. Karena itu, media memberi image orang menikah “sirri” sebagai kejahatan, melebihi koruptor. Sebaliknya jutaan orang justru dimuliakan karena mereka kumpul kebo. Andaikata Syekh Puji meniduri 100 WTS, dia tak akan dihukum dan tidak akan pula dicitrakan seolah “jahat”.
Mantan Ketua PBNU pernah berseloroh, “Jika nanti ada polisi menggerebek orang yang nikah sirri, lebih baik mengaku saja kumpul kebo.” Pernyataan ini, sekedar menunjukkan, betapa tak adilnya hukum dan logika media massa di negeri ini.
Bukan sekali-dua kali umat Islam dikadalin (dikerjain, red) media massa tanpa bisa melakukan pembalasan atau memberikan hal jawab secara adil dan sepadan.
Di sinilah letak penting mengapa umat Islam harus memiliki media. Hanya saja, meski sering menjadi korban, umat Islam sering mengabaikan arti penting keberadaan media. Kaum muslim yang kaya, biasanya, sering mengalokasikan uangnya untuk kampanye jadi bupati, gubernur atau presiden.
Betapa sering orang kaya-raya menghambur-hamburkan uangnya untuk kampanye pilkada? Toh akhirnya tidak sedikit mereka batal jadi pejabat.
Jika umat Islam memiliki media yang bagus dan kuat, dan dikelola secara baik, maka, pemberitaan dan pembentukan opini apapun bisa dikelola secara baik. Isu negatif tentang Islam akan dengan mudah pula dinetralisir. Semua pencitraan buruk tentang Islam oleh Barat, juga bisa terbendung.
Adalah pernyataan Dr. Yusuf Qaradhawi yang sangat luar biasa bagus. Beliau mengatakan, “Kalau saja kita (umat Islam) diberi kebebasan selama 20 tahun untuk membina umat, tanpa gangguan dan tekanan penguasa (Barat) atau konflik dengan mereka, itu sudah cukup untuk mengembalikan kejayaan umat Islam”.
Faktanya, umat Islam tak berdaya bukan karena mereka tak berdaya. Yang ada, karena mereka “diperdayai”.
Dr. Zakir Naik, seorang ilmuwan, kristolog dan seorang dai asal India, pernah merasakan ini memanfaatkan peluang emas mengisi seorang diri. Ia pernah beusaha me-lobby sebuah stasiun televisi untuk program Islam tanpa disensor, ditutup-tutupi atau diatur keinginan rating. Ketika itu waktu yang diberikan hanya beberapa puluh menit saja, namun Alhamdulillah, program itu mampu menyedot perhatian pemirsa dan direspon secara positif. Sampai akhirnya stasiun televisi lokal tersebut rela membayar Dr. Zakir Naik atas program yang dibuatnya tersebut. Namun beliau menolak, dengan mengatakan, “Saya tidak butuh uangmu, cukup berikan saya waktu lebih banyak lagi untuk mendakwahkan Islam di televisimu”.
Sesungguhnya jika kehidupan dunia ini bisa diibaratkan game (permainan), dan umat Islam diberi waktu memainkan peran secara adil, maka hasilnya akan berbeda. Tapi, faktanya tidaklah demikian.
Media dan dakwah
Kepemilikan media sangat menentukan keberhasilan dakwah Islam melalui media. Itu juga yang menjadi alasan mengapa dakwah Islam belum bisa efektif dan tersebar luas di seluruh pelosok dunia.
Umat Islam harus berazam untuk memiliki media massa yang baik atau memperkuat yang sudah ada. Media yang adil dalam penyampaian berita, sehingga dampaknya bisa dirasakan pada semua makhluk, tak hanya umat Islam sendiri. Bahkan bisa dirasakan umat lain.
Bukan media yang menuhankan rating. Media massa yang menjadikan ideologinya profit oriented, ia cenderung menghalalkan segala cara. Karenanya, jangan heran, banyak orang cerdas tiba-tiba hilang kendali setelah mereka bergabung di media massa. Sebelum masuk, ia dikenal anak-anak kampus yang cerdas. Sebab, rata-rata IP menjadi wartawan selalu di atas 3 dan memiliki kemampuan bahasa asing yang baik. Sayangnya, setelah jadi wartawan, kebiasaan membaca, mendengar pendapat orang dan kemampuan menganalisa jadi tumpul. Sebab, ia lebih mengejar “esklusivitas” berita. Secara akademik, mungkin ia masih cerdas, tapi, ia sudah tak memiliki kecerdasan “hati”.
Hampir semua orang yang digerebek Densus 88 langsung disebut media sebagai “teroris”, meski pengadilan belum berjalan. Media tak pernah mengukur, bagaimana perasaan anak dan istri mereka di lingkungan, di sekolah, dan di tempat kerja mereka. Sebutan ini saja sudah hukuman yang belum tentu bisa hilang selama puluhan tahun.
Tapi tak usah berharap banyak, sebab, media yang visi utamanya hanya profit oriented, bisa dipastikan, tak akan melahirkan wartawan/penulis/reporter/redaktur yang memiliki kecerdasan hati dan perasaan. Hasilnya selalu begitu.
Selama orientasi pemilik media hanyalah modal dan profit, maka selamanya tak akan sejalan dengan tujuan dakwah dan Islam itu sendiri. Di sinilah letak arti penting media Islam.
Meski demikian, pekerjaan mengelola media bukanlah pekerjaan sederhana. Sebab ia dibutuhkan keterampilan dan keahlian yang baik dan benar. Bukan asal membuat media.
Andaikata, saat ini semua media, TV dan kantor berita dihibahkan kepada umat Islam, belum tentu, umat Islam mampu mengelolanya dengan baik.
Sumber daya umat Islam dalam mengelola media ini masih kurang akibat ketidakterarikan umat akan bidang ini. Di saat yang sama, banyak umat Islam membanggakan media-media yang selama ini justru sering “memusuhi” Islam secara diam-diam. Bahkan tak terasa pula, ia menjadi wartawan/penulis/pembaca, bahkan menjadi pelanggan setianya. ( hidayatullah.com )
Pertanyaannya, sampai kapan Anda tak peka dalam masalah ini ...???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar