Pertanyaan Besar Seputar Keperkasaan Densus 88 Anti Teror - Setelah sekian tahun terus-menerus menerima puja dan puji, kini orang mulai mempertanyakan efektivitas kerja Markas Besar (Mabes) Polri menangani terorisme dengan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti-teror. Betapa tidak?
Data yang disampaikan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri kepada pers Jumat, 24 September lalu, menyebutkan dalam 10 tahun ini polisi berhasil meringkus 563 tersangka teroris. Dari jumlah itu, 471 di antaranya telah diadili, 44 orang tertembak mati, 10 orang tewas melakukan aksi bom bunuh diri. Sejumlah tokohnya seperti Azhari, Noordin M. Top, dan Dulmatin, telah mati tertembak.
Anehnya, setelah begitu banyak teroris diringkus atau dilumpuhkan, ternyata aksi terorisme tak mereda. Jumlah teroris pun seakan bertambah saja mengikuti kata pepatah: mati satu tumbuh seribu. Malah kelompok teroris itu dinilai berhasil merampok Bank CIMB Niaga milik perusahaan asing di Medan di siang bolong tanpa sedikit pun bisa dihalangi aparat keamanan pada 18 Agustus lalu.
Belasan perampok bersenjata api itu sempat menembak mati seorang Brimob penjaga bank, lalu dengan santai berboncengan sejumlah sepeda motor membawa lari ratusan juta rupiah duit bank. Inilah pertama kalinya perampokan bank terjadi terang-terangan di siang bolong dan direkam kamera
Lebih dari itu, kelompok teroris bersenjata telah menyerbu kantor Polsek Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Rabu dinihari, 22 September lalu. Aksi itu diduga adalah tindak pembalasan kelompok teroris atas penggerebekan dan penangkapan yang dilakukan Detasemen Khusus (Densus) 88, beberapa hari sebelumnya.
Penyerbuan itu menyebabkan tiga anggota Polri tewas: Aiptu Baik Sinulingga, Aipda Deto Sutejo, dan Bripka Riswandi. Sebelumnya, penggerebekan yang dilakukan Densus 88 terhadap kelompok yang dituduh teroris di Tanjung Balai dan Hamparan Perak (Sumatera Utara) serta Lampung, Minggu, 19 September 2010, telah menangkap 18 tersangka teroris, tiga di antaranya ditembak mati. Jadi kematian tiga kawanan teroris telah berbalas dengan terbunuhnya tiga polisi di Hamparan Perak.
Selama ini kelompok teroris pernah menyerang pos polisi. Di tahun 2005, misalnya, pos Brimob di Dusun Wailisa, Seram, Maluku, telah disatroni. Lima anggota Brimob dan seorang sipil terbunuh. April tahun ini, pos polisi di Purworejo, Jawa Tengah, juga diserang dan dua polisi terbunuh. Tapi kalau aksi balasan langsung, itu baru pertama kali terjadi, yaitu dalam kasus Hamparan Perak.
Keberhasilan kelompok teroris melakukan pembalasan kepada polisi, menurut mantan Kepala BIN Hendro Priyono, menunjukkan kelompok itu cukup kuat. ‘’Kalau tak cukup kuat, mereka tak akan berani unjuk gigi menyerang markas Polsek,’’ kata Hendro. Apalagi, serangan balasan dilakukan hanya berselang tiga hari setelah Densus 88 mengobrak-abrik ‘’sarang’’ mereka.
Pertanyaan besar sekarang: setelah ratusan orang ditangkap dan puluhan orang dibunuh, mengapa kelompok teroris tetap kuat dan mengancam? Ini jelas pertanyaan yang amat sulit dijawab. Tapi yang pasti ini adalah bukti kongkret kegagalan pemerintah yang dipimpin Presiden SBY dalam menangani terorisme.
Dalam penyerbuan kantor Polsek Hamparan Perak, diidentifikasi dari peluru yang ditemukan dan kesaksikan penduduk, bahwa kawanan itu terdiri dari belasan orang membawa setidaknya tiga jenis senjata: senapan serbu AK-47 atau AK-56, senapan serbu SS-1 atau M-16, dan pistol jenis FN. Senjata-senjata itu tergolong senjata polisi atau TNI. Memang AK sekarang sudah tak dipakai. Tapi senjata itu masih tersimpan di gudang-gudang Polri.
Surat dakwaan jaksa yang dibacakan di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, untuk mengadili mantan polisi Sofyan Tsauri, 23 September lalu, mengungkapkan bahwa senjata api yang digunakan kelompok teroris untuk berlatih di Aceh (kelompok Dulmatin), justru berasal dari gudang senjata Markas Besar (Mabes) Polri.
Pembobolan gudang senjata Polri dilakukan Sofyan melalui seorang anggota polisi lainnya bernama Ahmad Sutrisno yang bertugas di gudang senjata. Dengan gampang mereka membawa 24 pucuk senjata terdiri dari AR-15, AK-47, AK-58, revolver, SNW, FN-45, pistol Challenger, dan senapan buatan Amerika Serikat, Remington. Ada lagi 19.000 lebih peluru dan 93 magazin.
Menurut dakwaan jaksa, Sofyan Tsauri yang berpangkat brigadir polisi itu melakukan disersi dan diberhentikan pada 2009. Dia kemudian terpengaruh dan bergabung dalam kelompok teroris. Malah dalam suatu kesempatan pria 34 tahun itu melakukan wawancara dengan sebuah kantor berita asing, mengaku terus terang sebagai anggota jaringan al-Qaidah pimpinan Usamah Bin Ladin dan selalu melakukan kontak dengan kelompok Abu Sayaf di Filipina.
Tapi ada juga versi yang mencurigai Sofyan sebagai orang yang disusupkan intelijen. Kecurigaan itu terutama muncul karena gampangnya Sofyan memperoleh senjata dan dana. Dikabarkan ia amat pemurah dalam memberi uang saku kepada sejumlah anggota yang pernah ia latih di Aceh.
Selain itu kalau benar seorang disersi, bagaimana mungkin Sofyan dengan gampang keluar-masuk Markas Komando Brimob di Depok? Bukan hanya itu. Sofyan begitu mudah membawa anggotanya berlatih tembak (dengan senjata api) di Lapangan Tembak Markas Komando Brimob Kelapa Dua, Depok.
Informasi ini dulu dibantah oleh sumber resmi Mabes Polri, tapi kini diakui di dalam surat dakwaan jaksa. Bisa Anda bayangkan: gerombolan teroris berlatih menembak justru di Lapangan Tembak Brimob dengan senjata dari gudang Mabes Polri. Sudah semestinya pimpinan Polri (termasuk Kapolri) mempertanggung-jawabkan peristiwa ini kepada rakyat, selain melakukan klarifikasi isu penyelusupan intelijen.
Pantaslah 23 September lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kapolri mengecek senjata dan amunisi di gudang-gudang TNI mau pun Polri, hingga pada satuan-satuan terkecil.
Pengecekan dimaksudkan agar penggunaan senjata mau pun amunisi dilakukan dengan tertib. Instruksi itu sebenarnya sudah amat terlambat, karena terbukti kelompok teroris memperoleh senjata dari gudang Mabes Polri.
Ada Komisaris Jenderal Goris Mere
Sebenarnya kegagalan pemberantasan terorisme di Indonesia tak lain karena pemerintah Indonesia tak bisa mandiri tapi menggantungkan diri kepada Amerika Serikat dan Australia. Detasemen Khusus (Densus) Anti-teror 88 milik Polri berdiri setelah terjadi peristiwa bom Bali pertama di tahun 2002. Densus itu memiliki 400 anggota di Jakarta dan ratusan orang terserak di 33 daerah (Polda), terutama di Provinsi Maluku dan Irian.
Aksi Densus tentu sudah sering disaksikan di layar televisi. Gaya mereka memegang senjata, menggiring para tersangka mirip tentara Amerika Serikat menggiring tahanan teroris di Teluk Guantanamo. Maka terlihat terlalu berlebihan ketika di televisi, terutama menyaksikan lagak dan gaya anggota Densus itu memperlakukan dan menangkap Ustadz Abubakar Basyir, seorang tua yang sudah sangat lemah.
Anggota Densus diberi pelatihan sepenuhnya oleh aparat intelijen Amerika Serikat (FBI/CIA) dan Australia (Australian Federal Police). Semua biaya perekrutan, pelatihan, dan peralatannya berasal dari bantuan kedua negara itu.
Dengan biaya berlimpah, pasukan anti-teror ini terlihat mewah di antara para anggota polisi dengan fasilitas seadanya. Di Jakarta, Densus memiliki kantor dan segala fasilitas yang dibangun di tahun 2004 atas biaya Australia sebesar 40 juta US dollar. Setiap tahun, pemerintah Australia melalui Australian Federal Police (polisi federal Australia) memberikan bantuan 16 juta US Dollar (lihat koran Australia, The Age, 13 September 2010). Ke mana-mana pasukan khusus ini menggunakan pesawat terbang sendiri, Boeing 737.
Selain itu bantuan datang dari Amerika Serikat melalui program anti-terorisme (Anti-Terrorism Assistance, biasa disingkat ATA) Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Program itu diadakan dalam rangka perang global melawan teror (global war on terror) yang diproklamirkan Presiden George Bush, beberapa pekan setelah serbuan teror 11 September 2001.
Karena tergantung bantuan asing maka satuan anti-teror itu tak membumi. Sekadar contoh, nama Densus 88 saja diambil dari jumlah warga Australia yang terbunuh dalam peristiwa bom Bali 1 sebanyak 88 orang. Mestinya nama pasukan khusus itu berhubungan dengan sesuatu yang bisa meningkatkan kebanggaan kita sebagai bangsa Indonesia.
Kemudian dalam aksinya Densus 88 terlalu mengandalkan kekuatan sendiri seakan urusan terorisme hanya monopoli mereka. Padahal kita memiliki pasukan TNI yang terlatih baik seperti Kopassus di TNI Angkatan Darat atau Marinir di TNI Angkatan Laut yang kemampuannya sebenarnya tak boleh diragukan. Malah untuk urusan tempur tentu mereka lebih berkapasitas. Apalagi Kopassus sudah sering berlatih menumpas teroris bersama pasukan elit Australia, SASR (Special Air Service Regiment), seperti yang terjadi di Denpasar, Bali, 27 September lalu.
Selain itu, pemberantasan teroris mestinya melibatkan para ulama dan tokoh masyarakat. Terorisme ada hubungannya dengan masalah ideologi yang tak mungkin bisa dibersihkan hanya dengan main tangkap atau main tembak.
Memang Densus 88 punya kehebatan tersendiri. Konon mereka punya keahlian menyadap atau memonitor pembicaraan telepon atau SMS. Mereka dikabarkan memiliki peralatan sadap yang canggih dari Australia. Konon beberapa tokoh teroris berhasil disergap berkat keberhasilan menyadap telepon mereka. Meski pun sebenarnya penyadapan-penyadapan telepon pribadi bisa dianggap melanggar hak azasi manusia.
Tapi karena selama ini merasa sukses menumpas terorisme tampaknya mulai ada beban bagi Satuan Anti-Teror ini. Di Lapangan Terbang Polonia Medan, 13 September lalu, sejumlah pasukan Densus 88 dikabarkan petantang petenteng menerobos area Delta tanpa pemberitahuan atau izin yang jelas. Tindakan mereka ditegur seorang petugas TNI Angkatan Udara. Itu malah membuat berang para anggota Densus karena menganggap Komisaris Jendral Goris Mere yang ada bersama mereka kurang dihargai petugas. ‘’Anda tahu di sini ada bintang tiga,’’ sergah seorang anggota Densus.
Insiden ini sempat menimbulkan gesekan antar-instansi. Komandan Lanud Medan Kolonel Pnb Taufik Hidayat, 16 September lalu, mengirim surat kepada Polda Sumatera Utara memprotes tindakan Densus yang masuk ke areal tertentu di lapangan terbang tanpa izin atau pemberi tahuan semestinya.
Peristiwa Medan mengungkap pula keterlibatan Komisaris Jenderal Goris Mere dalam pemberantasan terorisme. Padahal ia kini menjabat Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (BNN). Apa hubungan narkoba dan terorisme? Jawabannya hanya akan membuat struktur kepemimpinan di kepolisian membingungkan.
Bukan hanya itu. Dalam menggerebek sejumlah sarang teroris di Tanjung Balai dan Hamparan Perak, dikabarkan Densus 88 tak berkordinasi dengan Polda Sumatera Utara, sehingga timbul gesekan di internal polisi. "Tindakan seperti itu menunjukkan sikap arogan, mereka (Densus 88) merasa seperti polisi nomor satu di Republik ini," kata Neta S. Pane, Presidium Indonesia Police Watch (IPW), LSM yang mengawasi kinerja polisi.
Terlibat Nama Presiden SBY
Sekarang tampaknya sudah saatnya pemerintah mengevaluasi sistem pemberantasan terorisme yang selama ini dipercayakan (hanya) kepada Densus 88, kreasi Amerika Serikat dan Australia itu. Apalagi belakangan pers dan LSM di Amerika dan Australia mulai menyerang dan menuduh Densus 88 melakukan tindakan pelanggaran HAM di Maluku dan Papua.
Koran Amerika Serikat, The Christian Science Monitor dan koran Australia The Age dan The Sydney Morning Herald kini rajin membongkar tuduhan pelanggaran HAM oleh Densus. LSM internasional terkemuka, Human Rights Watch dan Amnesty International pun sekarang kritis terhadap Densus 88. Maka tokoh-tokoh LSM Indonesia mulai mengamati perilaku Densus 88.
Selama ini kritik atas tindak kekerasan Densus sering disuarakan Forum Ummat Islam (FUI) tapi tak pernah didukung LSM-LSM. Pada 1 September lalu, misalnya, delegasi FUI ke Komisi III DPR mempersoalkan kekerasan oleh Densus. Terutama kekerasan dalam pemeriksaan, penangkapan atau penyergapan, tanpa alasan yang memadai. Para anggota Densus ringan tangan dalam membuang tembakan.
Sekarang koran dan LSM Amerika Serikat atau Australia kritis kepada Densus karena rupanya Densus bukan hanya memberantas terorisme (baca sebagai Islam) sebagaimana yang mereka harapkan tapi juga gerakan separatis di Maluku dan Papua seperti RMS dan OPM, yang melibatkan bukan orang Islam. Sudah jadi rahasia umum selama ini RMS dan OPM mendapat dukungan di Australia, sebagaimana halnya gerakan Fretilin di Timor Timur dulu.
Kebetulan dalam dua kasus RMS di Maluku terlibat nama Presiden SBY sehingga isunya semakin menarik. Yang pertama adalah penangkapan puluhan penari Cakalele di stadion di Ambon, dalam sebuah upacara 29 Juni 2007, dihadiri langsung oleh Presiden SBY.
Tiba-tiba di depan Presiden para penari dari Pulau Haruku itu mengibarkan bendera gerakan separatis RMS (Republik Maluku Selatan) berukuran raksasa. Peristiwa itu dianggap mempermalukan Presiden SBY di depan para tamu asing. Dalam kesempatan berpidato, SBY terkesan marah dan menegaskan tak ada toleransi untuk gerakan separatis di Indonesia.
Maka aparat keamanan di Maluku pun sibuk. Densus 88 dikerahkan menangkap para penari itu dan memeriksanya di kantor Densus 88 di kawasan Tantui, Ambon. Seperti kemudian dilaporkan koran dan LSM internasional tadi, di sana terjadi penyiksaan di luar peri kemanusiaan terhadap para aktivis RMS. Sejumlah 22 orang yang terlibat dalam kasus ini kemudian divonis 6 tahun sampai 15 tahun penjara oleh pengadilan.
Lantas 2 Agustus lalu, Densus 88 menangkap lagi 10 aktivis RMS di Ambon. Mereka dituduh akan melakukan aksi – termasuk pengibaran bendera RMS – pada 3 Agustus 2010. Pada hari itu, Presiden SBY datang ke Ambon guna menyemarakkan perayaan Sail Banda 2010. Amnesty International mengkhawatirkan dalam pemeriksaan Densus 88, para tahanan itu akan mengalami penyiksaan sebagaimana tahanan tari Cakalele 2007.
“Dia bukan jihadis radikal. Dia seorang Kristen dan kesalahannya adalah memiliki dua bendera RMS,’’ tulis The Sydney Morning Herald 13 September 2010, mengisahkan nasib malang Yonias Siahaya, 58 tahun, pekerja bangunan dan salah seorang tahanan yang mengalami penyiksaan di rumah tahanan Densus 88 di Tantui, Ambon.
Artinya, menurut koran Sydney itu seorang jihadis radikal boleh saja disiksa Densus. Yang tak boleh adalah seorang Kristen dan pengibar bendera RMS. Sebuah sikap wartawan yang sangat rasis. ( hidayatullah.com )
Data yang disampaikan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri kepada pers Jumat, 24 September lalu, menyebutkan dalam 10 tahun ini polisi berhasil meringkus 563 tersangka teroris. Dari jumlah itu, 471 di antaranya telah diadili, 44 orang tertembak mati, 10 orang tewas melakukan aksi bom bunuh diri. Sejumlah tokohnya seperti Azhari, Noordin M. Top, dan Dulmatin, telah mati tertembak.
Anehnya, setelah begitu banyak teroris diringkus atau dilumpuhkan, ternyata aksi terorisme tak mereda. Jumlah teroris pun seakan bertambah saja mengikuti kata pepatah: mati satu tumbuh seribu. Malah kelompok teroris itu dinilai berhasil merampok Bank CIMB Niaga milik perusahaan asing di Medan di siang bolong tanpa sedikit pun bisa dihalangi aparat keamanan pada 18 Agustus lalu.
Belasan perampok bersenjata api itu sempat menembak mati seorang Brimob penjaga bank, lalu dengan santai berboncengan sejumlah sepeda motor membawa lari ratusan juta rupiah duit bank. Inilah pertama kalinya perampokan bank terjadi terang-terangan di siang bolong dan direkam kamera
Lebih dari itu, kelompok teroris bersenjata telah menyerbu kantor Polsek Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Rabu dinihari, 22 September lalu. Aksi itu diduga adalah tindak pembalasan kelompok teroris atas penggerebekan dan penangkapan yang dilakukan Detasemen Khusus (Densus) 88, beberapa hari sebelumnya.
Penyerbuan itu menyebabkan tiga anggota Polri tewas: Aiptu Baik Sinulingga, Aipda Deto Sutejo, dan Bripka Riswandi. Sebelumnya, penggerebekan yang dilakukan Densus 88 terhadap kelompok yang dituduh teroris di Tanjung Balai dan Hamparan Perak (Sumatera Utara) serta Lampung, Minggu, 19 September 2010, telah menangkap 18 tersangka teroris, tiga di antaranya ditembak mati. Jadi kematian tiga kawanan teroris telah berbalas dengan terbunuhnya tiga polisi di Hamparan Perak.
Selama ini kelompok teroris pernah menyerang pos polisi. Di tahun 2005, misalnya, pos Brimob di Dusun Wailisa, Seram, Maluku, telah disatroni. Lima anggota Brimob dan seorang sipil terbunuh. April tahun ini, pos polisi di Purworejo, Jawa Tengah, juga diserang dan dua polisi terbunuh. Tapi kalau aksi balasan langsung, itu baru pertama kali terjadi, yaitu dalam kasus Hamparan Perak.
Keberhasilan kelompok teroris melakukan pembalasan kepada polisi, menurut mantan Kepala BIN Hendro Priyono, menunjukkan kelompok itu cukup kuat. ‘’Kalau tak cukup kuat, mereka tak akan berani unjuk gigi menyerang markas Polsek,’’ kata Hendro. Apalagi, serangan balasan dilakukan hanya berselang tiga hari setelah Densus 88 mengobrak-abrik ‘’sarang’’ mereka.
Pertanyaan besar sekarang: setelah ratusan orang ditangkap dan puluhan orang dibunuh, mengapa kelompok teroris tetap kuat dan mengancam? Ini jelas pertanyaan yang amat sulit dijawab. Tapi yang pasti ini adalah bukti kongkret kegagalan pemerintah yang dipimpin Presiden SBY dalam menangani terorisme.
Dalam penyerbuan kantor Polsek Hamparan Perak, diidentifikasi dari peluru yang ditemukan dan kesaksikan penduduk, bahwa kawanan itu terdiri dari belasan orang membawa setidaknya tiga jenis senjata: senapan serbu AK-47 atau AK-56, senapan serbu SS-1 atau M-16, dan pistol jenis FN. Senjata-senjata itu tergolong senjata polisi atau TNI. Memang AK sekarang sudah tak dipakai. Tapi senjata itu masih tersimpan di gudang-gudang Polri.
Surat dakwaan jaksa yang dibacakan di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, untuk mengadili mantan polisi Sofyan Tsauri, 23 September lalu, mengungkapkan bahwa senjata api yang digunakan kelompok teroris untuk berlatih di Aceh (kelompok Dulmatin), justru berasal dari gudang senjata Markas Besar (Mabes) Polri.
Pembobolan gudang senjata Polri dilakukan Sofyan melalui seorang anggota polisi lainnya bernama Ahmad Sutrisno yang bertugas di gudang senjata. Dengan gampang mereka membawa 24 pucuk senjata terdiri dari AR-15, AK-47, AK-58, revolver, SNW, FN-45, pistol Challenger, dan senapan buatan Amerika Serikat, Remington. Ada lagi 19.000 lebih peluru dan 93 magazin.
Menurut dakwaan jaksa, Sofyan Tsauri yang berpangkat brigadir polisi itu melakukan disersi dan diberhentikan pada 2009. Dia kemudian terpengaruh dan bergabung dalam kelompok teroris. Malah dalam suatu kesempatan pria 34 tahun itu melakukan wawancara dengan sebuah kantor berita asing, mengaku terus terang sebagai anggota jaringan al-Qaidah pimpinan Usamah Bin Ladin dan selalu melakukan kontak dengan kelompok Abu Sayaf di Filipina.
Tapi ada juga versi yang mencurigai Sofyan sebagai orang yang disusupkan intelijen. Kecurigaan itu terutama muncul karena gampangnya Sofyan memperoleh senjata dan dana. Dikabarkan ia amat pemurah dalam memberi uang saku kepada sejumlah anggota yang pernah ia latih di Aceh.
Selain itu kalau benar seorang disersi, bagaimana mungkin Sofyan dengan gampang keluar-masuk Markas Komando Brimob di Depok? Bukan hanya itu. Sofyan begitu mudah membawa anggotanya berlatih tembak (dengan senjata api) di Lapangan Tembak Markas Komando Brimob Kelapa Dua, Depok.
Informasi ini dulu dibantah oleh sumber resmi Mabes Polri, tapi kini diakui di dalam surat dakwaan jaksa. Bisa Anda bayangkan: gerombolan teroris berlatih menembak justru di Lapangan Tembak Brimob dengan senjata dari gudang Mabes Polri. Sudah semestinya pimpinan Polri (termasuk Kapolri) mempertanggung-jawabkan peristiwa ini kepada rakyat, selain melakukan klarifikasi isu penyelusupan intelijen.
Pantaslah 23 September lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kapolri mengecek senjata dan amunisi di gudang-gudang TNI mau pun Polri, hingga pada satuan-satuan terkecil.
Pengecekan dimaksudkan agar penggunaan senjata mau pun amunisi dilakukan dengan tertib. Instruksi itu sebenarnya sudah amat terlambat, karena terbukti kelompok teroris memperoleh senjata dari gudang Mabes Polri.
Ada Komisaris Jenderal Goris Mere
Sebenarnya kegagalan pemberantasan terorisme di Indonesia tak lain karena pemerintah Indonesia tak bisa mandiri tapi menggantungkan diri kepada Amerika Serikat dan Australia. Detasemen Khusus (Densus) Anti-teror 88 milik Polri berdiri setelah terjadi peristiwa bom Bali pertama di tahun 2002. Densus itu memiliki 400 anggota di Jakarta dan ratusan orang terserak di 33 daerah (Polda), terutama di Provinsi Maluku dan Irian.
Aksi Densus tentu sudah sering disaksikan di layar televisi. Gaya mereka memegang senjata, menggiring para tersangka mirip tentara Amerika Serikat menggiring tahanan teroris di Teluk Guantanamo. Maka terlihat terlalu berlebihan ketika di televisi, terutama menyaksikan lagak dan gaya anggota Densus itu memperlakukan dan menangkap Ustadz Abubakar Basyir, seorang tua yang sudah sangat lemah.
Anggota Densus diberi pelatihan sepenuhnya oleh aparat intelijen Amerika Serikat (FBI/CIA) dan Australia (Australian Federal Police). Semua biaya perekrutan, pelatihan, dan peralatannya berasal dari bantuan kedua negara itu.
Dengan biaya berlimpah, pasukan anti-teror ini terlihat mewah di antara para anggota polisi dengan fasilitas seadanya. Di Jakarta, Densus memiliki kantor dan segala fasilitas yang dibangun di tahun 2004 atas biaya Australia sebesar 40 juta US dollar. Setiap tahun, pemerintah Australia melalui Australian Federal Police (polisi federal Australia) memberikan bantuan 16 juta US Dollar (lihat koran Australia, The Age, 13 September 2010). Ke mana-mana pasukan khusus ini menggunakan pesawat terbang sendiri, Boeing 737.
Selain itu bantuan datang dari Amerika Serikat melalui program anti-terorisme (Anti-Terrorism Assistance, biasa disingkat ATA) Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Program itu diadakan dalam rangka perang global melawan teror (global war on terror) yang diproklamirkan Presiden George Bush, beberapa pekan setelah serbuan teror 11 September 2001.
Karena tergantung bantuan asing maka satuan anti-teror itu tak membumi. Sekadar contoh, nama Densus 88 saja diambil dari jumlah warga Australia yang terbunuh dalam peristiwa bom Bali 1 sebanyak 88 orang. Mestinya nama pasukan khusus itu berhubungan dengan sesuatu yang bisa meningkatkan kebanggaan kita sebagai bangsa Indonesia.
Kemudian dalam aksinya Densus 88 terlalu mengandalkan kekuatan sendiri seakan urusan terorisme hanya monopoli mereka. Padahal kita memiliki pasukan TNI yang terlatih baik seperti Kopassus di TNI Angkatan Darat atau Marinir di TNI Angkatan Laut yang kemampuannya sebenarnya tak boleh diragukan. Malah untuk urusan tempur tentu mereka lebih berkapasitas. Apalagi Kopassus sudah sering berlatih menumpas teroris bersama pasukan elit Australia, SASR (Special Air Service Regiment), seperti yang terjadi di Denpasar, Bali, 27 September lalu.
Selain itu, pemberantasan teroris mestinya melibatkan para ulama dan tokoh masyarakat. Terorisme ada hubungannya dengan masalah ideologi yang tak mungkin bisa dibersihkan hanya dengan main tangkap atau main tembak.
Memang Densus 88 punya kehebatan tersendiri. Konon mereka punya keahlian menyadap atau memonitor pembicaraan telepon atau SMS. Mereka dikabarkan memiliki peralatan sadap yang canggih dari Australia. Konon beberapa tokoh teroris berhasil disergap berkat keberhasilan menyadap telepon mereka. Meski pun sebenarnya penyadapan-penyadapan telepon pribadi bisa dianggap melanggar hak azasi manusia.
Tapi karena selama ini merasa sukses menumpas terorisme tampaknya mulai ada beban bagi Satuan Anti-Teror ini. Di Lapangan Terbang Polonia Medan, 13 September lalu, sejumlah pasukan Densus 88 dikabarkan petantang petenteng menerobos area Delta tanpa pemberitahuan atau izin yang jelas. Tindakan mereka ditegur seorang petugas TNI Angkatan Udara. Itu malah membuat berang para anggota Densus karena menganggap Komisaris Jendral Goris Mere yang ada bersama mereka kurang dihargai petugas. ‘’Anda tahu di sini ada bintang tiga,’’ sergah seorang anggota Densus.
Insiden ini sempat menimbulkan gesekan antar-instansi. Komandan Lanud Medan Kolonel Pnb Taufik Hidayat, 16 September lalu, mengirim surat kepada Polda Sumatera Utara memprotes tindakan Densus yang masuk ke areal tertentu di lapangan terbang tanpa izin atau pemberi tahuan semestinya.
Peristiwa Medan mengungkap pula keterlibatan Komisaris Jenderal Goris Mere dalam pemberantasan terorisme. Padahal ia kini menjabat Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (BNN). Apa hubungan narkoba dan terorisme? Jawabannya hanya akan membuat struktur kepemimpinan di kepolisian membingungkan.
Bukan hanya itu. Dalam menggerebek sejumlah sarang teroris di Tanjung Balai dan Hamparan Perak, dikabarkan Densus 88 tak berkordinasi dengan Polda Sumatera Utara, sehingga timbul gesekan di internal polisi. "Tindakan seperti itu menunjukkan sikap arogan, mereka (Densus 88) merasa seperti polisi nomor satu di Republik ini," kata Neta S. Pane, Presidium Indonesia Police Watch (IPW), LSM yang mengawasi kinerja polisi.
Terlibat Nama Presiden SBY
Sekarang tampaknya sudah saatnya pemerintah mengevaluasi sistem pemberantasan terorisme yang selama ini dipercayakan (hanya) kepada Densus 88, kreasi Amerika Serikat dan Australia itu. Apalagi belakangan pers dan LSM di Amerika dan Australia mulai menyerang dan menuduh Densus 88 melakukan tindakan pelanggaran HAM di Maluku dan Papua.
Koran Amerika Serikat, The Christian Science Monitor dan koran Australia The Age dan The Sydney Morning Herald kini rajin membongkar tuduhan pelanggaran HAM oleh Densus. LSM internasional terkemuka, Human Rights Watch dan Amnesty International pun sekarang kritis terhadap Densus 88. Maka tokoh-tokoh LSM Indonesia mulai mengamati perilaku Densus 88.
Selama ini kritik atas tindak kekerasan Densus sering disuarakan Forum Ummat Islam (FUI) tapi tak pernah didukung LSM-LSM. Pada 1 September lalu, misalnya, delegasi FUI ke Komisi III DPR mempersoalkan kekerasan oleh Densus. Terutama kekerasan dalam pemeriksaan, penangkapan atau penyergapan, tanpa alasan yang memadai. Para anggota Densus ringan tangan dalam membuang tembakan.
Sekarang koran dan LSM Amerika Serikat atau Australia kritis kepada Densus karena rupanya Densus bukan hanya memberantas terorisme (baca sebagai Islam) sebagaimana yang mereka harapkan tapi juga gerakan separatis di Maluku dan Papua seperti RMS dan OPM, yang melibatkan bukan orang Islam. Sudah jadi rahasia umum selama ini RMS dan OPM mendapat dukungan di Australia, sebagaimana halnya gerakan Fretilin di Timor Timur dulu.
Kebetulan dalam dua kasus RMS di Maluku terlibat nama Presiden SBY sehingga isunya semakin menarik. Yang pertama adalah penangkapan puluhan penari Cakalele di stadion di Ambon, dalam sebuah upacara 29 Juni 2007, dihadiri langsung oleh Presiden SBY.
Tiba-tiba di depan Presiden para penari dari Pulau Haruku itu mengibarkan bendera gerakan separatis RMS (Republik Maluku Selatan) berukuran raksasa. Peristiwa itu dianggap mempermalukan Presiden SBY di depan para tamu asing. Dalam kesempatan berpidato, SBY terkesan marah dan menegaskan tak ada toleransi untuk gerakan separatis di Indonesia.
Maka aparat keamanan di Maluku pun sibuk. Densus 88 dikerahkan menangkap para penari itu dan memeriksanya di kantor Densus 88 di kawasan Tantui, Ambon. Seperti kemudian dilaporkan koran dan LSM internasional tadi, di sana terjadi penyiksaan di luar peri kemanusiaan terhadap para aktivis RMS. Sejumlah 22 orang yang terlibat dalam kasus ini kemudian divonis 6 tahun sampai 15 tahun penjara oleh pengadilan.
Lantas 2 Agustus lalu, Densus 88 menangkap lagi 10 aktivis RMS di Ambon. Mereka dituduh akan melakukan aksi – termasuk pengibaran bendera RMS – pada 3 Agustus 2010. Pada hari itu, Presiden SBY datang ke Ambon guna menyemarakkan perayaan Sail Banda 2010. Amnesty International mengkhawatirkan dalam pemeriksaan Densus 88, para tahanan itu akan mengalami penyiksaan sebagaimana tahanan tari Cakalele 2007.
“Dia bukan jihadis radikal. Dia seorang Kristen dan kesalahannya adalah memiliki dua bendera RMS,’’ tulis The Sydney Morning Herald 13 September 2010, mengisahkan nasib malang Yonias Siahaya, 58 tahun, pekerja bangunan dan salah seorang tahanan yang mengalami penyiksaan di rumah tahanan Densus 88 di Tantui, Ambon.
Artinya, menurut koran Sydney itu seorang jihadis radikal boleh saja disiksa Densus. Yang tak boleh adalah seorang Kristen dan pengibar bendera RMS. Sebuah sikap wartawan yang sangat rasis. ( hidayatullah.com )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar